Kincir Waktu Sir Azyumardi Azra: Sepercik Kenangan Pribadi

Prof Azyumardi Azra (foto/VIVA)
Sumber :
  • vstory

VIVA - Kabar duka berembus dari Malaysia: Azyumardi Azra mengembuskan napas terakhir di RS Serdang Selangor, Ahad (18/9) pukul 12.30 waktu setempat.

Guru Besar Ilmu Sejarah berusia 67 tahun itu datang ke Malaysia sebagai salah seorang narasumber Persidangan Antarbangsa Kosmopolitan Islam yang dihelat Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) di Bangi Avanue Convention Center (BACC), Selangor pada Sabtu, 17/9.

Namun cendekiawan berdarah Minang itu tak pernah menginjakkan kaki di lokasi acara tersebab didera sesak napas hebat disertai batuk keras dan panjang selama berada di dalam pesawat yang membawanya dari Jakarta. Sehingga begitu mendarat di Selangor, panitia langsung membawanya ke RS Serdang, berjarak 35 km dari Kuala Lumpur. Dokter memastikan mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1998-2006) tersebut terpapar virus Covid-19--seperti ditulis jurnalis senior Ilham Bintang di kanal Detiknews.[1]

Obituari singkat ini ditulis tidak untuk menggambarkan biografi pemikiran dan kontribusi ilmu seorang ulin nuha terkemuka dalam peradaban Islam kontemporer. Sebab kiprah perjuangan dan sumbangsih Prof Edi—salah satu nama panggilan akrabnya—layak ditulis dalam sebuah ensiklopedi tersendiri oleh mereka yang jauh lebih ahli.

Saya hanya akan berbagi pengalaman pribadi dengan orang Indonesia pertama yang menerima gelar Commander of The British Empire (CBE) dari Kerajaan Inggris pada 2010 ini. Dalam standar penulisan nama Britania Raya, nama beliau bisa ditulis sebagai Sir Azyumardi Azra.

Boleh dibilang saya terlambat berkenalan secara pribadi dengan Prof. Edi, kendati sudah sering membaca tulisannya yang menginspirasi sejak pertengahan 80-an. Baru di awal Maret 2020 saya punya kesempatan berkenalan langsung dengan beliau.

Saat itu aktor-pembawa acara Ramzi Thebe dan istri menggelar syukuran makan siang di Plataran GBK dengan mengundang anggota WAG Unity in Diversity.

Tak dinyana, saya diberikan Ramzi posisi kursi berdekatan dengan Prof. Edi, Prof. Komaruddin Hidayat, dan psikolog klinis forensik Kasandra Putranto. Posisi duduk itu membuat obrolan santai di antara kami lebih sering terjadi dibandingkan dengan anggota lain yang duduk lebih jauh.

Usai acara, pandemi merajalela sehingga dilakukan PSBB oleh Pemerintah yang membuat seluruh kegiatan berpindah ke jalur daring. Saya mulai sering japrian dengan Prof Edi. Berbincang aneka topik.

Pada medio 2021 saya menulis novel Dayon yang beraroma Minangkabau. Sebuah kisah slice of life dari pemuda bernama Jems Boyon asal Kapau.

Saya perlu tokoh publik yang bersedia memberikan testimoni. Najwa Shihab sebagai pegiat literasi dan Duta Baca Nasional sudah bersedia. Saya masih butuh seorang pembaca ahli berdarah Minang dan memiliki aktivitas di tingkat global. Sebuah nama muncul di benak saya meski saya tak terlalu yakin beliau punya waktu di tengah kesibukannya: Prof. Azyumardi Azra.

Ternyata lelaki kelahiran Lubuk Alung, Padang Pariaman, ini bersedia. Beberapa hari kemudian beliau kirimkan kesaksian yang kemudian diputuskan penerbit MCL Publisher dicetak di sampul depan:

“Dayon lebih dari sekadar novel. Dia menggambarkan gejolak psikologis, sosiologis dan antropologis anak bangsa di tengah perubahan disruptif. Bacaan wajib yang reflektif dan kaya perspektif.” ~ Prof. Azyumardi Azra, CBE, Guru Besar Ilmu Sejarah.

Di akhir 2021 saya kembali menerbitkan novel baru. Kali ini genre political-thriller dengan salah satu setting utama di Kota New York. Judulnya Kincir Waktu 1, berkisah tentang isu pemerkosaan massal pada Reformasi 1998 dan skandal imigrasi ilegal ke AS yang menyertainya.

Saya tahu Prof. Edi pernah tinggal di NYC saat menjadi mahasiswa pascasarjana di Universitas Columbia. Tapi saya ragu untuk meminta beliau menulis testimoni lagi. Bukankah baru setengah tahun lalu beliau melakukannya?

Tetapi saya kontak juga beliau. Sepenuh hormat, separuh nekat. Jawabannya datang cepat, “Kirim saja. Nanti saya baca.” Tak lama kemudian datang pertanyaannya, “Uda Akmal, apa maksudnya Kincir Waktu karena ini bukan frasa yang lazim dipakai.”

Saya jawab, “Memang tidak lazim, Prof. Mungkin saya orang pertama yang menggunakan frasa itu. Jika pada kincir air dan kincir angin dimaksudkan air dan angin sebagai energi penggerak perubahan, maka dengan kincir waktu saya asumsikan waktu yang menjadi energi penggerak. Bagaimana sebuah kontroversi dan isu traumatik yang membuat bangsa terpuruk di masa lalu bisa diubah menjadi sikap positif dan pendorong kemajuan di masa depan.”

Beberapa hari kemudian datang testimoni lengkapnya berikut ini:

“Membaca Kincir Waktu, pembaca senior dapat teringat pada, atau pembaca lebih yunior terdorong melacak, turbulensi politik Indonesia sejak 1998. Pergolakan berlanjut ke New York, di mana Wikan Larasati, aktor utama novel, mengalami pengembaraan jasmani dan rohani penuh gejolak. Kincir Waktu memperlihatkan kepiawaian Akmal Nasery Basral melintasi berbagai peristiwa historis dan topografi sosial-budaya New York untuk mewujudkannya dalam lukisan imajinatif yang kaya dan inspiratif. Sungguh world class novel.” - Prof. Azyumardi Azra, CBE, New Yorker 1986-1993.

Lagi, testimoni yang diberikan Prof. Edi menunjukkan beliau membaca sampai ke titik koma naskah yang saya tulis. Bukan jenis testimoni yang diberikan hanya sebagai basa-basi literasi.

Jika pembaca menyangka Prof. Edi merespons kedua novel saya tersebab saya menyediakan honor baginya, itu keliru. Sebab kalau pun harus dikonversi ke dalam rupiah, saya tak tahu berapa nilai ekonomis testimoni seorang cendekia sehebat Prof. Edi.

Sudah pasti saya tak mampu membayar beliau jika kualitas profesi menjadi ukuran. Jadi dari awal saya sampaikan hal ini kepada beliau apa adanya. Alhamdulillah, bagi beliau itu tak masalah. Bukan soal materi.

Terkesan oleh sikapnya, saya tanyakan mengapa beliau bersedia memberikan testimoni bagi dua karya saya secara berurutan—dalam bentuk fiksi pula bukan karya ilmiah—beliau menjawab, “Saya selalu senang jika ada orang menulis dan melahirkan karya. Karena Uda Akmal percaya kepada saya membaca naskah Uda, maka saya alokasikan waktu untuk membaca dan memberikan testimoni. Ini bisa dilihat wakaf ilmu saya untuk Uda Akmal. Semoga bermanfaat.”

Ma syaa Allah. Sungguh sikap ngemong tiada kira dari seorang Guru (dengan “G” besar) yang luar biasa mendukung dan mendorong seorang murid yang awam paripurna.

Selain untuk testimoni novel, opini-opini saya dalam tajuk SKEMA [Skema Masyarakat] pun hampir selalu beliau komentari, baik di sejumlah WAG yang kami ikuti bersama atau melalui japri. Topik terakhir yang saya tulis, dan Prof Edi komentari, menyangkut tewasnya seorang santri akibat tindak kekerasan kawannnya di sebuah ponpes terkemuka. Prof. Edi menyatakan setuju dengan poin-poin yang saya sampaikan dalam SKEMA itu.

Hari ini Sang Kincir Waktu Pemikiran dan Peradaban Indonesia Kontemporer ini kembali ke haribaan Allah Azza wa Jalla. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Saya bersaksi Prof Azyumardi Azra adalah seorang Guru Besar yang sederhana, cendekiawan produktif, penulis prolifik, senior berpengalaman, sahabat pendorong, yang tinggi ilmu dan rendah hati. Indonesia kehilangan salah seorang pemikir dan akademisi teladan yang bermarwah dan bermartabat.

Selamat jalan ke Negeri Keabadian, Sir! .

Kepulanganmu diiringi lantunan zikir semesta raya yang mendaraskan kemuliaan firman. “ Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya!” (QS 89: 27-28).”

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.