Mengapa Masih Saja Mempertontonkan Kemarahan Berjemaah?

Sumber : Shuterstock
Sumber :
  • vstory

VIVA – Karier seseorang yang dibangun dengan susah payah, bisa hancur satu detik akibat ketidakmampuan menahan amarah. Adalah Will Smith seorang aktor terkenal yang di-black list dari acara Oscar  selama 10 tahun sejak April 2022. Will Smith memamerkan sikap tidak terpuji di acara piala Oscar yang ke 94 di mana Smith menampar Cris Rock yang menjadi pembawa acara yang pada saat itu, menjadikan istri Smith yang sedang sakit sebagai bahan guyonan.

Smith kemudian dengan berlinang air mata meminta maaf atas insiden memalukan tersebut. Namun, apa mau dikata, nama Smith sudah hancur bersama kemarahan sekian detiknya di panggung bergengsi tersebut.

Blackburn dan Davidson (1994), menyatakan bahwa marah sebagai suatu emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem syaraf simpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang kuat yang disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata salah atau mungkin pula tidak. Penelitian yang dilakukan oleh Rita Susanti dkk tahun 2014,  ditemukan bahwa faktor yang menyebabkan rasa marah adalah perasaan terluka (50,3%), persepsi terhadap ketidakadilan (29,1%), serta perilaku yang tidak diharapkan (20,6%).

Jelas sudah, perasaan terluka mendominasi penyebab kemarahan. Kemarahan saat ini, biasanya juga dipicu oleh media sosial. Saling sindir menjadi budaya baru yang sangat gampang untuk dilakukan. Betapa tidak, satu orang yang disindir dibaca oleh ribuan follower di medsos. Yang disindir kemudian tidak terima terjadilah letupan-letupan amarah yang memuncak.  Tidak jarang juga penggunaan medsos mejadi petaka manakala kadar simpati yang dimiliki menurun drastis dan menjadi hal-hal yang kemudian menimbulkan kemarahan. Entah mengapa banyak  orang yang mengesankan diri sebagai manusia-manusia sibuk yang untuk menjawab japri atau pesan seseorang saja dengan kata “ iya” atau Ok perlu menunggu sampai beberapa hari bahkan bulan. Padahal kesibukan utamanya adalah rebahan. Hal-hal kecil yang seperti itu bisa memicu rasa jengkel dan amarah seseorang terlebih misalnya si orang yang sengaja tidak membaca dan membalas pesan tersebut selalu direplay dengan cepat oleh orang lain.

Kemarahan yang tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan efek yang berbahaya. Pembunuhan, bunuh diri, juga disebabkan oleh amarah yang terpendam. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga kerap dipertontonkan dengan kemarahan-kemarahan berjemaah yang berujung tragedi. Masih lekat dalam ingatan kita permusuhan abadi antara suporter klub bola di Tanah Air tidak jarang berakhir dengan tawuran yang menimbulkan banyak korban jiwa. Kemarahan berjemaah memang kerap dipertontonkan di negeri ini. Bukan oleh mereka yang tidak bersekolah tinggi, namun kerapkali dilakukan oleh mereka-mereka yang tamatan perguruan tinggi.

Sebut saja Munas PAN di Kendari tahun 2020 diwarnai oleh insiden kursi terbang. Peserta saling lempar kursi. Yang terbaru dan tengah viral adalah Munas HIPMI ke XVII yang dibuka oleh Presiden Jokowi  di Solo, diwarnai adu jotos. Apapun duduk permasalahanya, sepertinya tawuran masih menjadi budaya bangsa ini, tawuran tidak lagi merambah kalangan anak SMA dan mahasiswa, namun juga orang-orang dewasa dengan jabatan yang mentereng.  

Kemarahan yang diumbar di depan publik dengan alasan apapun adalah salah satu hal yang tidak patut. Apalagi sekelas musyawarah yang identik dengan hal-hal yang adem. Mengedepankan akal sehat nan jernih lebih layak dipertontonkan ketimbang adu jotos yang kemudian viral d imedia-media. Bukan hanya nama-nama individu yang terlibat adu jotos yang menjadi buruk, namun nama organisasi jadi taruhannya. Terlebih lagi jika ditonton oleh anak-anak SMA dan mahasiswa, maka akan muncul stigma di kepala mereka bahwa tawuran bukanlah hal yang memalukan.

Sudah saatnya organisasi-organisasi dan perusahaan-perusahaan untuk memberikan pelatihan "anger management".  Hal ini diperlukan untuk memberi kemampuan kepada individu untuk melakukan kontrol emosi dengan baik. Semua orang bisa marah, namun dalam kadar yang tepat kepada orang yang tepat. Yang paling baik adalah marah dilakukan secara face to face atau person ke person tanpa meilbatkan media sosial. Kemarahan saat ini, biasanya juga dipicu oleh media sosial. Saling sindir menjadi budaya baru yang sangat gampang untuk dilakukan. Menjadi tua itu pasti, namun menjadi dewasa adalah pilihan.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.