Relasi Kuasa, Sex, dan Abuse of Power di KPU

Furqan Jurdi Pegiat Hukum (dok.pribadi)
Sumber :
  • vstory

VIVA - Kali ini saya harus berbicara orang-orang. Kata Eleanor Roosevelt, “orang kerdil membicarakan orang-orang”. Tapi tidak apa-apa, saya harus berbicara, ini mengenai masa depan demokrasi yang sehat di tangan orang-orang.

Orang-orang itu adalah oknum pimpinan partai politik dan penyelenggara pemilu, mereka oleh orang-orang disebut sebagai orang elit. Sedangkan peristiwa-peristiwa yang mereka lakukan berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara secara luas.

Sekitar Awal November 2022, terdengar hiruk-pikuk, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menjadi bahan perbincangan terbatas di beberapa kalangan. Bersamaan dengan itu, muncul isu, kalau Hasyim melakukan dugaan pelecehan seksual terhadap ketua umum Partai Politik.

Mendengar kabar ini, awalnya saya tidak sepenuhnya percaya, tetapi saya masih menyimpan curiga, dengan bertanya-tanya, benarkah ketua KPU demikian?

Keraguan itu muncul di benak saya. Bagaimana mungkin ketua KPU yang begitu "sholeh" itu melakukan perbuatan bejat seperti itu?

Tanggal 14 Agustus 2022, di kantor KPU RI, ketika kami hendak melakukan sholat ashar di masjid KPU, kami melihat Hasyim begitu khusyu melakukan sholat. Saat sholat Magrib, dia yang memimpin sholat itu dengan jemaah yang memenuhi masjid.

Saya akhirnya memutuskan untuk tidak percaya terlebih dahulu mengenai isu ini.

Awal Desember, bukti-bukti mulai muncul mengenai dugaan pelecehan seksual tersebut. Keributan di internal kelompok gerakan politik mengenai dugaan Hasyim Asy'ari melakukan pelecehan seksual semakin menemukan titik terangnya.

Hingga pada 6 November, pembicaraan itu mengerucut, bahwa dugaan pelanggaran etik ini harus segera dilaporkan.

Bersamaan dengan itu, Hasnaeni ketua umum Partai Republik Satu yang diduga dilecehkan, memberikan kuasa kepada Farhat Abbas untuk melakukan upaya hukum. Upaya hukum pertama Farhat mengirim somasi kepada Hasyim tanggal 16 November 2022.

Hasyim tidak merespons, disusul dengan Somasi kedua tanggal 21 November dan Somasi ketiga tanggal 24 November. Hasyim tidak menggubris.

Namun pengakuan Hasnaeni telah dipegang sebagai bukti adanya pelecehan. Wawancara tanggal 6 November 2022 yang kemudian viral itu memberikan titik terang bahwa dugaan itu semakin menguat.

Saya pun agak mulai percaya, setelah beberapa kali mengikuti perkembangan isu-isu itu. Akhirnya bukti-bukti tentang Ketua KPU dan Hasnaeni telah menjalin hubungan yang cukup “akrab” sampai di hadapan saya.

Saya kemudian berupaya memahami bukti-bukti itu. Saya meninggalkan mengenai “hubungan terlarang” itu dan beralih ke masalah abuse of power. Bahwa ada dugaan relasi antara kuasa, seks dan janji-janji yang berputar antara Hasnaeni dan ketua KPU RI.

Hubungan itu melanggar etika dan bukti-bukti itu mengarah ke sana, yaitu penggunaan kekuasaan, jabatan dan kesempatan jabatan ketua KPU untuk mengatur permainan tentang siapa yang lolos dan siapa yang tidak diloloskan menjadi peserta pemilu.

Hasnaeni adalah ketua umum partai politik dan Hasyim adalah penyelenggara. Hasyim tahu bahwa dia harus independen, tidak boleh terlibat secara langsung dengan ketua-ketua umum partai yang memiliki kepentingan.

Sayangnya, Hasyim menempatkan Partai Republik Satu sebagai partai yang “istimewa”. Beberapa kali dalam chat Whatsapp, ketua KPU mengajak Hasnaeni dengan dalih untuk kepentingan verifikasi Partai Politik.

Hotel Borobudur Kamar 1827 menjadi “saksi bisu” dari semua perilaku. Kamar hotel itu dibiayai oleh Negara untuk keperluan KPU,. Hasyim menggunakan fasilitas itu untuk melakukan perbuatan yang dituduhkan Hasnaeni dan Kuasa Hukumnya.

Ada bukti yang paling sulit dibantah bagi saya adalah perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta antara rombongan Hasnaeni dan Ketua KPU yang pada tanggal 18 Agustus 2022. Bukti itu sulit dibantah ketua KPU memang memperlakukan khusus Partai Republik Satu sekaligus memperkuat dugaan adanya “hubungan terlarang” itu.

Seorang Ketua KPU, ketika semua orang sibuk menyiapkan persyaratan, dia sibuk mendatangi kantor partai politik untuk kepentingan lain. Hasyim Asy'ari terlihat begitu aktif dan progresif dan tidak sabar untuk bertemu Hasnaeni setiap ada kesempatan. Tindakan demikian secara etik bertentangan dengan sumpah dan janji jabatan, serta merupakan Tindakan pidana pemilu.

Dalam pengakuan Hasnaeni dan bukti-bukti yang sudah dilaporkan oleh kuasa hukum Hasnaeni, terlihat bahwa ada pola politik balas budi, yaitu transaksi hubungan seksual dengan janji bahwa Partai Indonesia Satu yang dipimpinnya akan diloloskan menjadi peserta pemilu.

Dugaan Perilaku tidak senonoh Ketua KPU itu bukan hanya menyalahi Pasal 21 ayat (1) Huruf d UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum, mengenai persyaratan seseorang untuk memegang jabatan Anggota KPU dan sumpah jabatan sebagai anggota KPU, tetapi juga menyalahi norma hukum, norma agama dan norma kesusilaan yang berlaku dalam negara Indonesia.

Hasyim Asy'ari diduga telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang yang melekat pada dirinya untuk melayani nafsunya sendiri.

Kalau itu terbukti, Tindakan demikian mencederai asas yang paling mendasar dalam pemilu, yaitu pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil, sekaligus menodai independensi KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Sejauh bukti yang ada, diduga kuat, Partai Republik Satu memang diloloskan oleh KPU untuk mengikuti tahap verifikasi administrasi dengan menggunakan kewenangan, memanipulasi data atas perintah Ketua KPU kepada pegawai KPU.

Bagi saya ini adalah skandal pemilu dan kejahatan pemilu yang cukup nyata dan terang. Pemilu tahun 2024 yang akan datang sedari awal sudah dipenuhi oleh intimidasi, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Hasyim menurut Pengakuan Hasnaeni, membocorkan bahwa siapa yang menang di Pemilihan Presiden sudah ditentukan jauh-jauh hari. Dan dia akan memenangkan calon itu.

Bukan hanya Hasyim, Idham Holik yang telah dilaporkan oleh kelompok masyarakat sipil karena mengancam KPU-KPU di daerah untuk meloloskan partai-partai tertentu cukup jelas dari pengakuan-pengakuan yang beredar di media massa seperti tempo, kompas dan lain-lain.

Perilaku ketua KPU dan komisioner KPU itu melanggar etik dan dugaan perbuatan asusila tersebut tidak bisa dibenarkan sedikitpun dari segi etika dan Undang-undang, sehingga dengan demikian keduanya melanggar etika sebagai penyelenggara pemilu.

Undang-Undang 7/2017 maupun PKPU 4 Tahun 2022, tentang Pendaftaran, Verifikasi dan penetapan partai politik peserta pemilu, partai-partai yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu adalah partai yang memenuhi syarat dan dinyatakan lolos. BUkan partai politik yang diloloskan karena mendapatkan perlakuan istimewa atau mendapatkan imbalan tertentu

Hasyim menjadi bukti konkrit tentang penyalahgunaan kekuasaan itu (abuse of power). Pengakuan Hasnaeni mengenai Dugaan manipulasi dan pengaturan partai yang lolos dan tidak lolos dalam pemilihan umum, tidak bisa dianggap sepele, ini merupakan bagian dari kejahatan pemilu.

Perintah untuk menyatakan “memenuhi syarat’ terhadap partai politik tertentu telah merugikan partai-partai lain, yang dinyatakan tidak bisa mengikuti tahap pemilu.

Adanya upaya untuk meloloskan partai tertentu dan tidak meloloskan partai tertentu diduga kuat memiliki motif yang sama dengan perlakuan KPU RI terhadap partai Republik Satu, yaitu imbalan tertentu atau dengan jaminan tertentu.

Pelanggaran etika lainnya berkaitan dengan keluarnya keputusan, bahwa Partai-partai yang dinyatakan bisa mengikuti tahap verifikasi administrasi tanpa keputusan atau sebuah surat keputusan kelembagaan.

Dalam sistem pemerintahan yang baik, setiap Tindakan administrasi negara harus berdasarkan surat keputusan yang mengikat sebagaimana keputusan administrasi, yaitu bersifat konkret, final dan mengikat bagi pihak-pihak yang dinyatakan tidak bisa mengikuti proses dalam tahap pemilihan umum.

Dari semua rangkaian peristiwa yang dilakukan oleh ketua KPU dan Komisioner KPU Lainnya sebagaimana yang telah beredar luas dalam masyarakat harus dilihat sebagai enemy demokrasi, yang melanggar etika  dan Undang-undang pemilu.

Berdasarkan ketentuan pasal 37 UU 7/2017, Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila: a. tidak lagi memenuhi syarat. sebagai anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik.

Sejauh ini Hasyim maupun Idham tidak membantah secara spesifik mengenai tuduhan kepada mereka. Bahkan hanya membela diri di internal KPU saja, belum terlihat pernyataan resmi di media setelah semua menjadi heboh.

Kalau ini terbukti, saya mendukung tuntutan Gerakan Melawan Political Genoside (GMPG) untuk menghentikan tahap pemilu untuk sementara dan menindak secara tegas oknum yang melanggar itu. Minimal dipecat secara tidak terhormat dan bila perlu dengan bukti-bukti yang ada, dilaporkan secara pidana. (Furqan Jurdi, Aktivis dan Pegiat Hukum)

 

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.