Sulung Leukemia, Bungsu Thalasemia

SURABAYA POST – Alamatnya jelas, Jalan Pacar Kembang VI no 17A Surabaya. Namun, mencarinya tidak gampang. Harus masuk gang sempit di pemukiman padat kawasan Pacar Kembang. Yadi tinggal bersama istri dan kedua anaknya di rumahnya yang cukup menyedihkan.

Saat Berdoa di Rakornas Pilkada, PAN Yakin Dapat Jatah Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Menuju pintu rumah harus melewati lorong sempit di antara dua rumah. Yang disebut rumah itu juga hanya berupa ruangan berukuran 4x5 meter yang dibagi dua dengan sekat sebuah lemari pakaian. Di atas ada loteng kecil berlantai kayu yang ditempati kakak Yadi.

Juga, tidak terlihat perabot meja-kursi yang biasa menghiasi ruang tamu. Yang ada hanya tumpukan barang tak beraturan, peralatan dapur, dan sebuah tempat tidur bersprei lusuh. Tak ada jendela sebagai jalan keluar masuknya udara. Hanya ada lubang angin untuk ventilasi. Sehari-hari, Yadi, istri dan kedua anaknya harus berbagi tempat tidur sempit.

Sukses Digelar, Turnamen PBSI Sumedang Open 2024 Diharap Lahirkan Atlet Terbaik

Yadi sehari-hari bekerja sebagai pasukan kuning di Pasar Keputran. Dari pekerjaan itu, pria asli Surabaya berusia 36 tahun ini digaji digaji Rp 1 juta per bulan. Dengan rumah yang sudah berstatus milik sendiri, gaji, plus tambahan hasil menarik becak usai menyapu di Pasar Keputran, Yadi bisa mencukupi keluarganya.

Namun seluruh penghasilan itu tiba-tiba terasa tak cukup lagi ketika dokter memvonis anak sulungnya, Fatimatus Zumaida, menderita leukemia pada 2006. Waktu itu, Ida –panggilan akrab Fatimatus– masih duduk di kelas 2 SD. Ingin anaknya sembuh, upaya pengobatan pun ditempuh. Hanya saja, tingginya biaya pengobatan membuat Yadi menghadapi satu kenyataan pahit. Penghasilannya tiap bulan tidak cukup untuk menutup seluruh biaya pengobatan.
’’Waktu itu anak saya berobat menggunakan JPS (Jaring Pengaman Sosial), tapi ada beberapa obat yang biayanya tidak ditanggung,” tutur istri Yadi, Fatimah, saat ditemui di rumahnya.

Jangan Malas, Olahraga Bisa Jaga Kesehatan Jantung Hingga Turunkan Risiko Kanker Lho!

Kondisi memaksa Yadi yang asli Surabaya ini berutang Rp 15 juta kepada kantornya untuk membeli obat. Konsekuensinya, Yadi terkena pemotongan gaji tiap bulan selama lima tahun hingga 2012. Tak tanggung-tanggung, seluruh gaji dalam sebulan terambil untuk melunasi utang. Pasalnya, selama ini, Yadi juga berutang ke koperasi kantornya.

Masa-masa sulit pun dihadapi Yadi dan istrinya ketika Ida menjalani perawatan. Karena seluruh gaji sudah habis untuk membayar utang, hasil dari menarik becak jadi andalan untuk makan sehari-hari selama Ida dirawat di RSUD dr Soetomo.

Hanya saja, hasil menarik becak tidak bisa diandalkan. Kadang ada, kadang Yadi harus pulang dengan tangan kosong. Karena desakan kebutuhan hidup dan keperluan membeli obat, Yadi terpaksa menjual becaknya. ’’Uangnya untuk makan karena sudah tidak ada uang lagi,” kata Fatimah.

Tanpa becak dan gaji yang sudah terpotong semua, Yadi tidak punya penghasilan untuk menutup kebutuhan keluarga. Selain itu, Yadi juga harus rutin memeriksakan Ida ke RSUD dr Soetomo untuk memantau leukemia yang diidapnya.

Untuk keperluan kontrol rutin, Fatimah mengaku kerap berutang kepada kerabat. Karena tidak memiliki kendaraan, mereka pun berjalan kaki ke RSUD dr Soetomo sambil bergantian menggendong Ida.

Beruntung ia mendapatkan bantuan dari Paguyuban Kanker Anak Jawa Timur (PKAJ). Oleh PKAJ, Yadi dibelikan becak agar bisa mendapatkan penghasilan lagi. Bantuan PKAJ memang sedikit membantu kondisi ekonomi Yadi.

Untuk kontrol Ida, Yadi juga bisa menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM). Ia dan keluarga sebenarnya layak masuk peserta Jamkesmas. Namun, RT setempat terlambat mendatanya.

Musibah bertambah tahun lalu ketika dokter memvonis Ida menderita thalasemia. Akibat thalasemia yang diderita, Ida mengalami pembengkakan hati dan harus dioperasi awal Desember kemarin. Untuk biaya operasi dan perawatan di RSUD dr Soetomo, Yadi tidak perlu mengeluarkan uang karena bisa menggunakan SKTM.
Tapi untuk beberapa obat, Yadi dan istrinya harus membeli sendiri. “Ya untung PKAJ kadang memberi saya bantuan untuk membeli obat,” kata Fatimah.

Kini, kondisi Ida semakin membaik namun tetap harus kontrol rutin ke rumah sakit tiap bulan. Hanya saja, akibat penyakit yang diderita, Ida tidak mau melanjutkan sekolah. Ia sudah tidak bersekolah lagi sejak kelas 4 SD. Ketika ditanya mengapa dirinya tidak mau sekolah, Ida mengaku lelah. Ia tidak mau kelelahan karena takut harus dirawat di rumah sakit lagi.

Adik Mengalah
Namun ada hal lain yang juga harus dipikirkan Yadi dan Fatimah sekarang. Di saat Ida harus dioperasi, adik Ida yang berusia tiga tahun lebih muda, Nurhayati, didiagnosa dokter mengalami kelainan hati. Nur sebenarnya harus menjalani opname saat itu juga. Tapi Fatimah minta dirawat jalan saja. ’’Saya takut tidak bisa membiayai. Untuk saat ini, satu-satu dulu saja,” kata wanita asal Sampang itu.

Dibanding Ida, kondisi Nur memang lebih baik. Ia juga masih kuat dan semangat untuk sekolah. Tapi kesehatannya tetap harus dipantau karena Nur mulai menunjukkan gejala menderita thalasemia.
Thalasemia merupakan penyakit kelainan darah yang bersifat genetik. Kerusakan DNA tersebut menyebabkan tidak optimalnya produksi sel darah merah. Selain itu, sel darah merah penderita mudah rusak sehingga kerap menyebabkan anemia. Imbasnya, penderita harus sering menerima transfusi darah. Seperti Ida yang harus ditransfusi dua kali dalam sebulan sebelum menjalani operasi hati.

Jika ayah atau ibu membawa sifat (carrier) thalasemia, 25 persen anak mereka memiliki kemungkinan menderita thalasemia. Dalam kasus Ida dan Nur, tidak diketahui apakah kedua orangtuanya carrier.
Namun dari penuturan Fatimah, suaminya pernah terkena tumor saat masih kecil dan sudah diangkat. ’’Saya tidak tahu tumor apa yang diderita,” katanya.

Sementara untuk leukemia, siapa pun bisa terkena penyakit ini. Tidak peduli anak-anak atau dewasa. Faktor keturunan juga tidak berpengaruh. ’’Leukemia bisa dialami siapa saja,” kata Prof dr Bambang Permono SpA(K) dari RSUD dr Soetomo.

Sedangkan kelainan hati yang dialami Nur bisa disebabkan beberapa faktor. Salah satunya kekurangan zat besi sejak masih dalam kandungan. Jika melihat kondisi ekonomi keluarga Yadi, Nur ada kemungkinan mengalami kekurangan zat besi. Apalagi fokus Yadi dan istrinya lebih banyak tertuju ke Ida yang tengah menjalani pengobatan untuk leukemia yang dideritanya.


Laporan Reny Mardiningsih : Surabaya Post

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya