BI: Amerika Serikat Masih Jauh dari Resesi

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti.
Sumber :
  • VIVA/Fikri Halim

VIVA – Bank Indonesia menilai, perlambatan ekonomi dunia yang terus terjadi, akibat intensnya perang perdagangan antara Amerika Serikat dan China, belum akan membuat ekonomi negeri Paman Sam itu mengalami resesi dalam waktu dekat.

Utang Luar Negeri Indonesia Turun Jadi US$413,6 Miliar

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti, mengatakan, penilaian tersebut karena perekonomian AS saat ini masih cukup kuat, meski sedikit mengalami perlambatan. Selain itu, laju ekonomi yang semakin melemah cenderung terjadi di kawasan Eropa.

"Kalau saya melihat resesi itu masih agak jauh ya, kami melihatnya di Amerika masih agak jauh. Memang di beberapa negara di Eropa memang sekarang mereka sedang mengalami masa-masa sulit," tutur Destry di Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2019.

BI Fast Payment, Jawaban untuk Kebutuhan Transaksi Murah

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal II-2019 memang hanya sebesar 2,3 persen. Angka pertumbuhan tersebut jauh lebih lambat ketimbang pertumbuhan pada kuartal II-2018 yang mampu mencapai 3,2 persen, serta kuartal I-2019 yang sebesar 2,7 persen.

"Ekonominya ini kan sekarang masih cukup kuat dengan pertumbuhan di kuartal II 2,3 persen, inflasi mereka masih cukup terkendali dan juga kalau saya melihat tentunya ada lesson learned dari mereka pada saat krisis di 2008," ujar dia.

Cadangan Devisa RI Februari 2022 Naik Tipis, Ini Pendorongnya

Destry juga mengatakan, setelah terjadinya deleveraging usai krisis ekonomi pada 2008 di AS, lembaga jasa keuangan yang ada di negara tersebut semakin berhati-hati dalam mengeluarkan berbagai produk jasa keuangan, semisal kredit perumahan, kredit konsumsi, dan lainnya. 

"Jadi, bank-bank yang tadinya mereka lebih agresif mengeluarkan produk-produk yang bisa di-leverage dengan tinggi, kayak waktu itu subprime mortgage ya, sekarang kan mereka sudah mulai berhati-hati. Jadi lesson learned yang terjadi di 2008 tentunya akan menjadi perhatian bagi mereka," kata dia.

"Makanya kita lihat sekarang bank sentral baik di negara maju maupun negara berkembang sense-nya hampir sama yaitu easing monetary policy dan juga fiscal expansion," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya