- VIVAnews/Tri Saputro
VIVAnews - Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, mendukung langkah Mahkamah Agung yang telah menjatuhkan sanksi terhadap Hakim Syarifuddin Umar. Namun, sanksi itu seharusnya tidak hanya diberikan kepada tersangka suap itu.
"Saya usulkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tempat Syarifuddin juga ditindak," kata Jimly di sela peluncuran Soeharto Center di Jakarta, Rabu 8 Juni 2011.
Menurut Jimly, Ketua PN Jakpus dinilai harus bertanggung jawab atas kasus suap yang terjadi di tempatnya itu. Karena, ketua pengadilan adalah orang yang membagi-bagikan perkara kepada anak buahnya. "Ya bisa dimutasi atau yang paling ngeri dikasih peringatan. Tapi terserah MA. Intinya, jangan dibiarkan dia ini tidak bertanggung jawab. Biar jadi pelajaran," ujar Jimly.
Selain itu, Jimly mengusulkan agar ada pembenahan dalam sistem peradilan di Indonesia. Pembenahan ini termasuk dalam revisi sejumlah undang-undang tentang kehakiman.
"Sudah ada KPK dan lain-lain kok masih terjadi. Itu artinya semua usaha yang kita lakukan belum efektif. Kita harus lihat menyeluruh secara sistemnya, misalnya termasuk KUHAP-nya harus dievaluasi ulang," ujarnya.
Yang kedua, lanjut Jimly, berkaitan dengan administrasi. Menurut Jimly, pada umumnya lembaga-lembaga hukum manajemennya jelek karena tidak memiliki database.
Seperti diketahui, Hakim Syarifudin ditangkap saat diduga menerima suap sebesar Rp250 juta dari Puguh Wirawan, kurator PT Skycamping Indonesia (SCI). Selain uang Rp250 juta, KPK juga menemukan uang tunai Rp142 juta, US$116.128, Sin$245 ribu, serta belasan ribu mata uang Kamboja dan Thailand. Uang-uang itu tersebar di rumah dinas Syarifudin di Jalan Sunter Agung Tengah 5 Nomor C 26.
Saat ini Syarifudin dan Puguh sudah menjadi tersangka. KPK menduga, suap itu terkait dengan perkara penjualan aset PT SCI senilai Rp35 miliar. PT SCI sendiri sudah dinyatakan pailit oleh pengadilan. (eh)