Rektor UI Prof Gumilar Rusliwa Somantri

"Soal Gelar Raja Abdullah, Saya Siap Dialog"

Rektor Prof Dr UI Gumilar Rusliwa Somantri
Sumber :
  • ui.ac.id

Pesan itu cepat menyebar. Lewat SMS, BlackBerry Messenger, dan jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook. Emil Salim, begitu bunyi pesan itu, akan berpidato di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sang Guru Besar akan memberi wejangan Senin 5 September 2011. Pukul sepuluh pagi.

PSI Buka Pendaftaran Bagi yang Ingin Maju Pilkada, Siapa Saja Bisa Ikut

Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu tidak akan berpidato soal alam atau bumi yang kian sepuh, tapi soal “Sengkarut Rektor, Raja dan Ruyati.”

Rektor Universitas Indonesia, Raja Abdullah bin Abdul Aziz dan Ruyati, sejatinya datang dari tiga dunia yang berjauhan. Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri menekuni dunia pendidikan, Raja Abdullah memimpin Arab Saudi yang kaya raya,  dan Ruyati adalah seorang nenek susah yang membanting hidup ke dapur majikan, lalu mati dipancung.

Sesudah mendengar pidato Emil Salim itu, peserta akan berduyun-duyun ke Gedung Rektorat membawa batu. Batu-batu itu akan ditumpuk di situ.

Pidato Emil Salim, juga aksi menumpuk batu itu adalah bagian dari protes kepada Rektor atas pemberian gelar honoris causa kepada Raja Abdullah. Gelar itu dituduh seperti menampar publik, yang sudah marah karena Ruyati dipenggal.

Akun TikTok Disita, Polisi Pastikan Galih Loss Belum Dapat Untung dari Kontennya

Tapi dengarlah dulu penjelasan Gumilar. Gelar itu, katanya, sudah disiapkan semenjak tiga tahun lalu. Diusulkan sejumlah Guru Besar UI lewat proses yang panjang dan alot.

Selama ini urung diberikan sebab Raja Abdullah yang sudah sepuh itu, 90 tahun umurnya, sakit-sakitan. Lalu awal Agustus lalu, datang surat dari Sekretariat Kerajaan bahwa Raja Abdullah bisa menerima gelar itu pada 21 Agustus 2011.

Manajemen dan Serikat Pekerja Freeport Teken PKB, Menaker: Bisa Jadi Contoh bagi Perusahaan Lain

Gumilar mengaku seperti makan buah simalakama. Jika gelar itu diberikan tanggal 21 Agustus itu, momentumnya kurang tepat. Tapi jika tidak diberikan, nanti malah dituduh main-main. Kedua negara bisa kian tegang.

Lahir di Tasikmalaya, 11 Maret 1963, menghabiskan seluruh karir akademiknya di UI, Gumilar mengaku paham betul dengan keberatan sejumlah kalangan soal gelar itu. Tapi hubungan baik dengan Arab Saudi, katanya, juga bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Dia mengaku bersedia berdialog dengan sejumlah kalangan yang menolak gelar itu. “Sebagai seorang akademisi, saya bersedia berdialog,” katanya. Berikut petikan wawancaranya dengan VIVAnews.com di Jakarta, Jumat 2 September 2011.

Anda dikecam karena memberi gelar honoris causa kepada Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz. Bagaimana sesungguhnya proses pemberian gelar seperti itu di UI?

Memberikan gelar kepada seseorang, juga gelar honoris causa itu tentu saja ada proses dan prosedurnya. Di Universitas Indonesia ada komite khusus yang bertugas memproses pemberian gelar seperti itu. Komite itu terdiri dari  9 guru besar. Mereka berasal dari berbagai disiplin ilmu.

Mereka yang memproses, melakukan verifikasi, kelayakan dari orang yang akan diberikan gelar. Mereka yang juga menerima usulan atau masukan tentang siapa yang pantas.

Dari mana mereka mendapat kandidat penerima gelar honoris causa itu?

Bisa datang dari mana saja. Diusulkan oleh siapa saja.  Dari masyarakat, pemerintah, ketua departemen, dekan fakultas, dosen dan sebagainya. Tidak ada batasan soal itu.

Bagaimana cara komite itu melakukan verifikasi?

Biasanya, jika mendapat usulan nama kandidat, komite ini akan menggelar rapat awal. Yang dibahas pada rapat awal itu lazimnya sangat general. Membahas profil orang yang diusulkan itu. Siapa yang mengusulkan dan sebagainya. Kadang-kadang si kandidat sudah gugur di tahap awal ini. Jika dianggap layak, maka tim akan melakukan kajian lebih dalam.

Dalam proses kajian lebih dalam itu apa saja yang ditelusuri?

Dalam kajian itu akan digali kelayakan si kandidat. Apa saja jasanya bagi ilmu pengetahuan. Apa jasanya bagi kemanusiaan, perdamaian dan  bagi kehidupan yang lebih baik. Pokoknya mengali rasional tidaknya si kandidat itu dipilih.

Jika rasional, bagaimana proses selanjutnya?

Komite itu akan meminta second opinion dari tim ahli. Tim ahli itu jumlahnya lima orang. Sebagaimana komite delapan tadi, anggota tim lima ini juga berasal dari berbagai disiplin ilmu. Dua tim ini bertemu dan berdiskusi mengkaji alasan-alasan pemilihan si kandidat. Kalau ditolak tim ahli itu, si kandidat bisa mental.

Kalau tim ahli itu setuju, maka mereka akan menyusun draft buku tentang mengapa si kandidat layak diusulkan. Jika sudah siap mereka akan mengirim surat kepada Rektor, yang dilampiri sejumlah laporan tentang proses yang sudah ditempuh, dan alasan memilih sang kandidat.

Apa yang akan dilakukan Rektor?

Rektor akan mengirim surat kepada kandidat yang diusulkan itu. Apakah ia mau menerima gelar itu atau tidak. Jika dia bersedia, tinggal penyesuaian jadwal dan tempat.

Dalam soal pemberian gelar kepada Raja Abdullah, Anda pergi ke Arab Saudi?

Pemberian gelar itu memang lazimnya dilakukan di kampus pada saat wisuda. Tapi bisa juga bukan saat wisuda tapi tempatnya di kampus. Bisa juga di luar kampus, dengan alasan yang tentu saja harus masuk akal. Universitas Indonesia, misalnya, pernah memberikan honoris causa kepada tokoh Budha dari Jepang. Pemberian dilakukan di Jepang. Karena beliau sudah tua. Raja Abdullah dari Arab Saudi itu sudah berumur 90 tahun. Karena sudah tua maka diberikan di Arab Saudi.

Anda memberi gelar kepada Raja Abdullah setelah Arab Saudi memancung Ruyati yang mendapat reaksi keras publik di sini. Apa alasan yang paling kuat dan rasional, sehingga Anda terkesan mengabaikan sentimen kasus Ruyati itu? 

Saya akan menjawab soal alasan rasional mengapa memilih Raja Abdullah. Berikutnya akan saya jelaskan soal kasus Ibu Ruyati itu.

Ada beberapa alasan mengapa Raja Abdullah dinilai layak. Pertama, Raja Abdullah dinilai layak karena dia melakukan modernisasi Islam di Arab Saudi. Contoh sederhananya adalah bahwa beliau mendirikan King Abdullah University of Science and Technology, yang membolehkan mahasiswa laki-laki dan wanita kuliah di ruangan yang sama. Wanita tidak wajib pakai burqa, meski mereka masih harus tetap memakai jilbab. Dalam soal ini, beliau jelas melakukan perubahan.

Alasan kedua adalah bahwa Raja Abdullah mendukung pengembangan ekonomi yang berbasis energi terbarukan. Guna mewujudkan gagasan itu, Raja Abdullah membangun sains dan teknologi. Mendanai riset-riset.

Dalam soal agama, dan ini yang menjadi alasan ketiga, Raja Abdullah aktif mengembangkan dialog lintas iman antara Kristen, Islam dan Yahudi. Dialah yang terus-terusan menyakinkan dunia bahwa terorisme tidak terkait dengan Islam, tapi lebih karena soal ketidakadilan.

Keempat dia juga aktif mengembangkan perdamaian di kawasan Timur Tengah, terutama dalam soal Israel dan Palestina.

Dalam soal kemusiaan, dia juga punya sumbangan yang besar. Dan itu adalah alasan yang kelima. Raja Abdullah membentuk lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan. Lembaga itu pernah membantu Aceh saat tsunami, membantu warga Somalia dan kegiatan kemanusiaan di tempat lain.

Alasan-alasan itu mungkin saja benar. Tapi Anda dianggap tidak peka dengan benak masyarakat,  yang kecewa dengan kasus Ruyati?

Soal kasus Ibu Ruyati tentu saja kami sedih. Sedih karena beliau dihukum mati. Kami mengakui bahwa momentumnya kurang pas. Jika karena momentum yang kurang pas itu, ada yang terluka, kami minta maaf yang sebesar-besarnya.

Mengapa tidak menunda? Mengapa harus nekat melawan momentum itu?

Saya akui bahwa saat itu memang saya  seperti makan buah simalakama.  Coba Anda bayangkan, Sekretaris Kerajaan Arab Saudi mengirim surat kepada kami bahwa Raja Abdullah sudah siap menerima gelar itu tanggal 21 Agustus 2011. Jika tidak diberikan, nanti dikira tidak serius dan membuat hubungan kedua negara menjadi tegang atau kurang enak.

Dan menurut Anda, akibatnya akan lebih buruk?

Coba Anda bayangkan berapa juta warga kita yang bekerja di sana. Ada enam orang Indonesia yang terancam dipancung. Saat pemberian honoris causa itu banyak media internasional dan lokal yang meliput.

Hampir semua media di Arab Saudi menaruhnya menjadi berita utama. Media-media lokal menulis tentang Universitas Indonesia, yang ternyata reputasi, mutu dan rangking  internasionalnya lebih bagus dari universitas-universitas di Arab Saudi.

Mudah-mudahan dengan ekspos sebesar itu,  bisa mengubah kesan sebagian kalangan di sana bahwa Indonesia itu cuma negara asal pembantu.

Selain soal mengubah kesan itu, apa yang Anda harapkan lagi dari pemberian penghargaan ini?

Hubungan kita dengan Arab Saudi itu sangat penting.  Kami berharap enam orang yang terancam dipancung itu bisa diampuni oleh keluarga korban. Kerajaan Arab Saudi itu mempunyai lembaga arbistrase yang bertugas mempertemukan keluarga korban dan keluarga yang terancam hukuman mati. Bahkan lembaga itu ikut manggalang dana untuk membayar diyat.

Dengan seluruh kebesaran dan niat baiknya itu, menurut Anda apakah Raja Abdullah memerlukan gelar honoris causa untuk menjaga hubungan baik dengan Indonesia?

Raja Abdullah mungkin tidak memerlukan gelar honoris causa itu. Dia juga mungkin tidak akan menerima, jika hatinya tidak merasa dekat dengan Indonesia.

Selain state to state diplomacy, hubungan baik antara negara juga bisa dilakukan lewat jalur universty to state. Prosesnya bisa saja lebih cepat dari proses birokrasi kedua negara. Saya berharap pendekatan ini bisa lebih powerfull. Selama ini kita selalu dicap sebagai negara penerima, penerima pekerjaan dan sebagainya.

Begitu rakyat Arab Saudi menonton dan melihat raja mereka diberikan penghargaan, menunduk kepalanya dikalungi toga, saya berharap persepsi warga di sana tentang kita sedikit berubah.

Dengan berita-berita media di sana, rakyat jadi paham bahwa ekonomi Indonesia skalanya lebih besar dari mereka, trend ekonomi kita bagus meski secara kualitas masih perlu perbaikan dan posisi Indonesia cukup penting bagi dunia internasional.

Apakah Anda mendengar rumor bahwa ada isu uang dalam pemberian gelar ini?

Saya mendengar dan itu sama sekali tidak benar. Raja memang membantu membangun Masjid Arief Rahman Hakim di Universitas Indonesia. Silahkan saja audit proyek itu. Silahkan saja BPK audit. Saya tidak tahu berapa dana yang dihabiskan membangun masjid itu, karena mereka sendiri yang bangun. Dan setelah jadi diserahkan kepada universitas.

Apakah Anda sudah mendengar bahwa Senin 5 September ini, sejumlah guru besar akan berkumpul dan memprotes pemberian honoris causa itu?

Saya akan belajar ikhlas menghadapi sejumlah senior dan teman-teman itu. Saya percaya bahwa beliau-beliau itu juga tahu bahwa ini bukan keputusan Rektor seorang diri, bukan sesuatu yang mendadak tapi prosesnya sudah panjang.

Anda siap berdialog dengan mereka?

Ini dunia perguruan tinggi, yang sangat terbuka dengan gagasan-gagasan dan dialog. Saya siap berdialog dengan senior-senior dan teman-teman itu. Mari kita diskusikan soal rasionalitas pemberian gelar honoris causa itu.




Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya