Pendiri Dicoding, Narenda Wicaksono

Satukan Pengembang Aplikasi di Dicoding

Narendra Wicaksono, Pendiri Dicoding
Sumber :
  • Vivanews/Agus

VIVA.co.id - Di usianya yang masih muda, pria ini sudah merasakan bekerja di dua perusahaan ternama, yakni Microsoft dan Nokia. Meski saat ini, kedua perusahaan tersebut melebur menjadi satu.

Narenda Wicaksono merupakan lulusan jurusan Informatika dari ITB. Ia pernah merasakan puncak karirnya, seperti menciptakan Terminal Services Web Access, yang kemudian menjadi bahan demo Steve Ballmer, saat peluncuran Windows Server 2008.

Namun, Naren, sapaan akrabnya, memiliki rasa idealisme yang cukup tinggi. Ia, kemudian memutuskan untuk meninggalkan Microsoft yang telah memberikan kenyamanan dan gaji lebih dari cukup untuk membangun ekosistem developer (pengembang) di Indonesia dengan menciptakan platform bagi para pengembang yaitu Dicoding.

Ia mencoba membangun dan membantu developer lokal melalui platform besutannya, Dicoding. Dalam platform tersebut, Narenda ingin menjembatani, antara developer dengan para investor yang sangat kehausan mencari para pengembang untuk kebutuhan bisnisnya.

Berikut wawancara VIVA.co.id, dengan Narenda Wicaksono pada tanggal Jumat, 16 Januari 2015 di Jakarta.

Bisa ceritakan awal karier Anda hingga bisa ke Microsoft?

Lewat Microsoft Student Ambassador, sekarang namanya Microsoft Student Partner, duta Microsoft di kampus-kampus, saya mewakili kampus (ITB) waktu di Bandung. Tingkat tiga, saya kepilih jadi ketua Himpunan Informatika di situ. Lalu, Microsoft bikin lomba, menang di Indonesia, tetapi tidak di India. Mereka lihat, saya punya passion jadi saya langsung di-hire, setelah lulus (kuliah).

Tugasnya Berbeda di dua perusahaan itu?

Intinya saya membangun komunitas developer, membangun ekosistem. Waktu di Microsoft kan, yang dibangun itu developer yang bisa bikin aplikasi apa pun. Di Nokia, lebih fokus di mobile. Kenapa di mobile ini penting? Karena mobile itu product-nya lebih mass market, persaingannya lebih clear. Mereka bisa jadi entrepreneur dan buat mereka, saya dibilang cukup sukses.

Kenapa memutuskan keluar?

Kemarin kan, Nokia dibeli oleh Microsoft, saya memutuskan untuk tidak bergabung. Ini istilahnya bikin kapal sendiri, jangan jadi ABK terus. Biar pun kapalnya kecil, tetapi setidaknya jadi nahkoda. Jadi, saya bisa menentukan arahnya ke mana. Makanya, saya bikin platform namanya Dicoding.

Dulu Anda pernah membuat Terminal Services Web Acces dan dipakai oleh Steve Ballmer, bisa dijelaskan?

Itu waktu masih di Microsoft. Bangga banget bisa dipakai oleh Steve Ballmer. Jadi, itu bisa kontrol komputer lain menggunakan server. Jadi, dia bisa login di mana saja, bahkan di handphone.

Idenya dari mana?

Dulu sudah ada namun web acess-nya jelek. Jadi, saya bikin Silverlight, web acess-nya sudah ada karena login-nya susah, harus ada install ini itu. Saya nggak perlu, tinggal login.

Lalu waktu dibajak oleh Nokia, apa Anda tahu alasannya?

Saya nggak tahu. Waktu itu nggak ada yang mikir bikin aplikasi di Nokia. Saya bawa. Enggak bisa dipungkiri developer Indonesia yang sukses itu justru dari platform Nokia, revenue Rp1 miliar. Waktu saya bikin ekosistem di Nokia ada lima juta download

Lebih nyaman di Microsoft, atau di Nokia?

Di balik enak pasti ada nggak enak, di balik nggak enak pasti ada enak. Saya nggak bisa bilang mana yang lebih enak, buat saya sih sama saja. Yang lebih enak mengemudikan kapal sendiri. Saya butuh waktu delapan tahun untuk mengumpulkan keberanian.

Apple Serahkan US$50 Miliar ke Pengembang Aplikasi

Atas dasar apa, membuat Dicoding dan memutuskan keluar?

Atas dasar comfort zone, karena buat saya comfot zone itu bahaya. Saya cari tantangan yang lebih realistis, yang something on my own, yang pegang saya sendiri. Itu alasan utama saya, comfort zone.

Apa itu 'Coding'?

Mereka melihat IT ini sesuatu yang menarik banget dengan adanya Microsoft, Apple, atau Google. Tetapi, ada mindset yang salah. Sergey Brin atau Larry Page misalnya dari Google, dia itu bikin sendiri loh. Dia coding. Kita bicara programmer, orang yang memprogram komputer yang jadi masalah. Lulusan IT belum tentu programmer, programmer juga nggak harus lulusan IT.

Sumber dayanya bagaimana?

Programmer kita dikit banget. Dari 500 ribu itu, kurang dari lima persen, menurut saya yang bisa bikin program. Coba survei semua perusahaan IT, pasti butuh developer. Harusnya developer top itu jadi dosen, menurut saya, karena banyak dosen yang nggak bisa, maksudnya nggak banyak yang mengerti experience bikin product.

Komunitas Dicoding diisi siapa aja?

Dicoding ini untuk developer yang punya aplikasi di store, apakah itu Android (Google Play Store), Windows (Phone), atau iOS (App Store). Per hari ini ada seribu verified. Developer itu kita kasih, istilahnya journey, kita kenalkan mereka ke partner-partner. Contoh kemarin, saya ketemu dengan yang punya Application Programming Interface (API). Dia pingin diadopsi sistemnya, dia butuh developer untuk ini itu. Intel juga sama, masih banyak banget.

Memang berapa harga pembuatan aplikasi mobile?

Satu platform minimal Rp50 juta, itu hasilnya belum tentu bagus, yang bagus biasanya Rp100 juta satu platform. Itu bukan developer top, itu yang biasa-biasa saja.

Kalau partner punya duit Rp50 juta, tinggal beli poin di Dicoding. Rp50 juta itu equal dengan lima ribu poin, jadiin kontes. 10 developer terbaik, dapat lima ribu poin. Saya jamin yang ikutan lebih dari 10 developer dan hasilnya jauh lebih bagus, karena mereka dibayar dengan poin.

Kenapa pakai poin?

Poin bagi mereka itu credibility. Buat mereka sudah sejauh mana level 'dewanya'. Di poin ini saya punya dua, experience point yang tidak pernah habis untuk skill-nya dia. Modelnya gamification. Kedua, poin ini bisa ditukar dengan reward seperti ada Mac, iPhone, laptop, handphone. Intinya, pada fase awal ini kita mencari developer yang masih baru. Nanti, mereka akan mempunyai credibility.

Kredibilitasnya Dicoding?

Ini (Dicoding) nggak bisa bohong. Aplikasiny ada store, kelihatan rating-nya berapa, transparan, poinnya kelihatan. Ke depan, harapannya dalam setahun, mungkin tiga tahun, kalau melamar ke perusahaan, atau ada perusahaan yang pingin tahu, tinggal lihat poin decoding-nya berapa, 2.000 poin, sudah patut di pekerjakan. Belum ada kan, yang ngasih rating kayak begitu.

Awal pembuatan Dicoding itu sejak kapan?


Bulan Oktober awal tahun kemarin, tiga bulan saya bikin ini. Waktu itu, saya mengerjakan tiap akhir pekan, sekarang punya tim sekitar enam sampai tujuh orang. Operasonal satu orang. Saya mengurus strategic, kemudian ada tim development itu empat orang.

Petelur.ID, Aplikasi untuk Peternak Kelas Bawah

Target developer di Dicoding?

Sebanyak-banyaknya. Dicoding itu isinya ada dari Probolinggo, Semarang, Yogya, dan macam-macam. Mereka punya store account, real developer. Intinya, perusahaan yang kelak, terutama perusahaan teknologi, di mana mereka ingin punya bisnis, mereka butuh developer. Misalnya payment gateway, Dicoding akan memberikannya.

Apa bisa menghubungkan pengembang dengan investor juga?
Bukti Menggiurkannya Bisnis Aplikasi Mobile di Indonesia

Sudah beberapa. Kemarin kita baru di-invest oleh Daily Social, nggak bisa disclose berapanya.

Tampilan situs Dicoding

Ada mimpi untuk Dicoding?

Jadi, kalau mau mencari real developer, ya di sini. Untuk sekarang ada mobile, sekarang Android, iOS, dan Windows Phone. Mimpi saya ini jadi rating bagi developer.

Kampus yang mempunyai jurusan IT banyak, tetapi kenapa SDM-nya kurang?

Karena industri kencang banget. Sementara itu, kampus ini banyak yang nggak bisa mengikutinya. Mereka masih belajar pakai cara zaman dulu, kalau itu masih diterapkan, ya wasalam. Mungkin, faktor lambatnya internet juga pasti, dari sisi penyebaranya teknologi yang tidak merata.

Tantangan lainnya?

Hal lain juga perkembangan sosial media juga meracuni. Kalau menurut saya, dengan 140 karakter, dia kira dia sudah paham dunia, padahal nggak. Lulusan IT ini pada ke mana, kalau nggak tukang komputer, bukan software. Dari kampusnya juga mereka tidak update di luar sana, sekarang mereka bermain dengan teknologi. Jadi, menurut saya, kayak e-commerce sedang booming banget, kalau sumber daya kita nggak keep up, akhirnya kita jadi bangsa market saja.

Bagaimana membedakan developer pro?

Dalam Dicoding juga, saya berharap developer tidak hanya bikin aplikasi, tetapi bikin produk sendiri, itu harapan saya. Menurut saya, yang membedakan ia developer, atau tidak itu dari passion. Kadang ada passion yang luar biasa, tetapi mereka terhambat, misalnya kayak laptop nggak ada, testing device nggak punya, di situ Dicoding ambil peran.

Di Dicoding banyak tentang aplikasi game, atau lainnya?

Ya, 50-50. Kalau game itu download-nya cepat, tetapi kalau nggak matinya cepat. Kalau aplikasi lebih lama (naiknya). Saya dulu punya satu juta download lebih, namanya Momento di Windows Phone. Tetapi, nanti Februari, atau Maret rilis di Android. Ini satu juta user di seluruh dunia. Ini dibikin setahun yang lalu. Kemarin top five di Amerika Serikat. Jadi, Momento ini aplikasi tentang foto yang membantu moment anak dengan penambahan seperti cover magazine, tanggal lahir, atau cuaca.

Pengguna tahu nggak kalau ini aplikasi buatan Indonesia?

Nggak perlu tahulah, kalau tahu malah nggak download. Jadi, saya diamkan. Orang Indonesia gitu kan, kalau punya Instagram, Path, oke. Popularitas nggak sebanding dengan yang men-download. Momento saja saya nggak pernah publlikasi kalau sampai sejuta download.

Secara pribadi, sudah bikin berapa aplikasi?

Sudah banyak, mungkin puluhan. Tetapi, ya aplikasi ada yang hidup, ada yang mati. Ya sudahlah, yang penting kita inovasi terus.

Apa yang harus ada di sebuah aplikasi?

Karena aplikasi bukan masalah fungsi, optimasi harus ringan, cepat, harus bagus, banyak, dan yang paling mengerikan di dunia aplikasi itu. Di dunia aplikasi, semua orang yang pegang smartphone itu punya taste. Kalau kita nggak punya standar yang tinggi, ya wasalam.

Tantangan dunia aplikasi?

Tantangan dunia aplikasi, masalah SDM, kemudian exposure, jadi kompetisi makin mengerikan. Kalau Indonesia, nggak cinta produk Indonesia, cenderung meremehkan, kalau salah cenderung comel. Solusinya, diam-diam saja, kalau sudah satu juta download baru ngomong. Saya pernah bikin aplikasi dengan lima juta download, namanya Music Player. Itu yang paling tinggi, tetapi sekarang sudah saya turunan. Namanya aplikasi, datang dan pergi.

Dulu operator telekomunikasi sempat merasakan kejayaan konten mobile (SMS Premium, dsb), sekarang mereka bertumpu pada aplikasi. Apa operator bisa mengandalkan revenue besar dari aplikasi?

Bisa, tetapi mereka harus berbasis service, layanan. Tidak aplikasi saja, tetapi something cloud base. Contoh Uber punya layanan panggil taksi, dan lainnya. Operator harus punya layanan seperti itu juga.

Mungkinkah membuat aplikasi berbayar yang bisa menarik pengguna dan mendatangkan banyak revenue bagi pengembang?

Tergantung ya, tingkat urgensi aplikasinya seperti apa. Jadi, kan sekarang model bisnisnya macam-macam. Kalau kayak games yang addictive banget, itu bisa tapi kalau cuma setengah-setengah, itu nggak. Game mainnya itu iklan, atau afiliasi, tetapi karena Android menggurita semuanya kebanyakan gratis. Kalau download berbayar itu sudah susah.

Tips dan trik bagi para pengembang, untuk bisa membuat aplikasi buatannya bertahan lama sebagi aplikasi yang didownload?

Harus sabar, karena bikin aplikasi itu banyak gagalnya. Rovio saja 51 kali gagal, baru ke-52 dia sukses bikin Angry Birds. Jadi, harus belajar gagal dulu. Titik kristis bagi developer itu di dua minggu pertama, download dalam dua minggu itu kencang, setelah itu stagnan, naik turun. Kalau sudah turun terus, ya udah bikin game baru.

Lainnya?

Kerja sama dengan publisher. Dia harus bikin bagus banget, rating juga bisa bagus. Kerja sama komunitas juga. Tapi yang paling bagus itu, kerja sama dengan platform owner kayak PlayStore, Windows Phone, atau iOS, karena mereka yang menentukan banyak di-download itu visibility pada awal dibukanya platform, itu download-nya pasti gede. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya