Penelitian: 26 Persen Anak-anak di Bawah Umur Pernah Merokok

Rokok menyala di atas asbak.
Sumber :
  • suara.com

VIVA.co.id - Keberadaan iklan rokok baik yang ada dalam iklan televisi, media cetak, internet, bahkan iklan luar ruangan yang sering ditemui dalam bentuk baliho, papan reklame, atau tempelan poster di warung-warung, dinilai justru mendorong anak di bawah umur untuk merokok.

Anak-anak yang semula pernah mencicipi rokok, dengan adanya iklan-iklan tersebut, ternyata memiliki keinginan untuk merokok kembali. Bahkan, mereka yang belum pernah merokok sekali pun ikut tergiur mencoba merokok.

"Iklan rokok, promosi, dan sponsorship yang dilakukan oleh industri rokok sangat signifikan pengaruhnya terhadap anak-anak di bawah umur dan perempuan," kata peneliti dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Awang Darumurti, Selasa 24 Maret 2015.

Awang menjelaskan bahwa iklan rokok yang ditayangkan itu sebenarnya lebih banyak memiliki tujuan jangka panjang. Sebab, jika iklan rokok tersebut dilihat oleh anak-anak, khususnya anak-anak di bawah umur, mereka akan memiliki pengetahuan tentang rokok itu dan, kemudian akan mencoba rokok tersebut di kemudian hari.

"Kalau iklan rokok ini ditujukan pada anak-anak, ini sebenarnya ada investasi besar yang diharapkan. Industri rokok mencoba mengenalkan produknya sebisa mungkin, agar masuk dalam tekanan otak anak-anak. Kalau sudah masuk ke otak, anak-anak itu akan menjadi konsumen potensial mereka. Karena anak-anak sudah mengenal tentang rokok," jelasnya.

Ini Penyebab Rokok Elektrik Makin Digemari Remaja



Dosen Ilmu Pemerintahan UMY ini juga menyebutkan, jika ada pengaruh yang sangat bervariasi dari adanya iklan rokok, promosi dan sponsorship rokok (TAPS). Pengaruh yang terjadi tersebut mulai dari terpengaruh untuk melihat, mengenal dan terekam dalam otak produk rokoknya, hingga mencoba rokok yang ditawarkan.

"Kami melakukan penelitian pada 50 anak di Kota Yogyakarta, sebagai perwakilan dari anak-anak kota, dan 50 anak lagi di Kulonprogo sebagai perwakilan dari anak-anak pinggiran. Hasil yang kami dapat pun sangat bervariasi, karena kami melakukan pada anak-anak usia Taman Kanak-kanak hingga anak usia 10 tahun," ujarnya.

Dari penelitian yang dilakukan, dari 50 anak di Kota Yogyakarta, ada 10 persen yang menjadi perokok aktif, 20 persen mengaku pernah mencicipi rokok, dan 70 persennya tidak pernah merokok. Sedangkan di Kulonprogo, para peneliti tidak berhasil menemukan anak-anak yang menjadi perokok aktif, tetapi 26 persen di antaranya mengaku pernah merokok, dan 74 persen tidak pernah merokok.

Perbedaan tersebut terjadi karena, menurut Awang, Kulonprogo sudah berhasil menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sementara itu, di Kota Yogyakarta peraturan tentang KTR ini masih belum diterapkan.

"Jadi, adanya peraturan daerah berupa KTR ini punya pengaruh positif pada anak-anak. Karena ada pembatasan tempat, di mana orang bisa merokok," ungkapnya.

Namun, dari itu semua, hasil penelitian yang cukup membuat para peneliti ini tercengang adalah pengaruh dari adanya iklan, promosi dan sponsorship rokok tersebut. Dari penelitian yang dilakukan Awang, tindakan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur itu setelah melihat iklan rokok adalah ingin mencoba rokok yang diiklankan.

"Baik anak-anak yang di Yogyakarta maupun Kulonprogo, mereka yang pernah merokok, mengaku ingin merokok lagi setelah melihat iklan rokok itu berkali-kali. Bahkan, ada juga yang sebelumnya belum pernah merokok, setelah melihat iklan rokok berkali-kali, mengaku ingin mencoba merokok. Ini cukup menjadi bukti bahwa iklan rokok itu memang sangat berpengaruh pada anak-anak di bawah umur," tuturnya.



Hal senada diungkapkan Tri Hastuti, Dosen Ilmu Komunikasi UMY ini juga mendapatkan hasil yang serupa, saat melakukan penelitian tentang 'Pemetaan Profil dan Dampak Iklan pada Anak-Anak, Studi Kasus pada Anak-anak Usia di Bawah 10 tahun di Kabupaten Bantul, Sleman dan Kota Yogyakarta.

Kemenperin Diminta Revisi Road Map Industri Rokok

Menurutnya, lingkungan sekitar anak-anak dan iklan rokok membawa pengaruh besar terhadap perilaku merokok anak-anak. "Anak-anak itu jadi banyak tahu tentang rokok, karena promosi dan iklan yang gencar dilakukan oleh industri rokok. Hingga akhirnya muncul keinginan dari mereka untuk mencoba rokok seperti yang ada di iklan tersebut," katanya.

Karena itu, menurut Tri, pemerintah perlu menguatkan kembali kebijakannya, khususnya tentang promosi rokok. Pemerintah harus mengatur kembali tentang promosi, iklan, dan sponsorship rokok, penjualan rokok, dan lokasi merokok.

"Pembatasan jam tayang iklan rokok seperti yang diatur sekarang sebenarnya sudah cukup bagus. Tetapi, ternyata masih ada anak-anak yang bisa menonton iklan rokok itu saat jam setengah 10 malam, dan sebelum jam enam pagi. Jadi, ini memang perlu aturan yang lebih ketat lagi, kalau perlu dihilangkan iklan rokoknya juga lebih baik," ujarnya.

Sementara itu, Firly Annisa, peneliti lainnya yang mempresentasikan tentang Analisa Strategi Komunikasi Pemasaran Industri Rokok di Sleman dan Kota Yogyakarta, mengatakan adanya pembatasan jam tayang iklan rokok di televisi menjadikan industri rokok memutar otak untuk membuat iklan di luar ruangan yang tetap bisa dilihat oleh banyak orang. Akibatnya, sampah visual yang ditemui di jalan raya semakin banyak.

"Tapi di sisi lain, iklan luar ruangan dari rokok ini ternyata membawa keuntungan tersendiri bagi daerah. Karena pendapatan daerah dari pajak iklan luar ruangan ini cukup tinggi," kata dia.

Faktor inilah, lanjut Firly, yang kemudian menjadikan regulasi tentang iklan rokok di luar ruangan masih belum bisa seketat iklan rokok yang ditayangkan oleh televisi komersial. Sebab, pendapatan daerah paling banyak dihasilkan dari pajak reklame tersebut. Kalau regulasinya diketatkan, kemungkinan pendapatan daerahnya yang akan kempes. (asp)

![vivamore="
Bonus Demografi Indonesia Terancam Bahaya Rokok
Baca Juga :"]

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya