SOROT 379

Rokok Pangkal Miskin

Ilustrasi rokok
Sumber :
  • Reuters

VIVA.co.id - Secangkir kopi dan sebatang rokok mengawali harinya pagi itu. Peluit dan handuk warna putih terlihat melingkar di leher pria yang tak lagi muda ini. Matanya menatap tajam kendaraan dan orang yang lalu lalang. Sesekali, ia menyeruput kopi dan menghisap rokoknya dalam-dalam. Wajahnya tampak gelap terpapar asap kendaraan. Juga tersengat teriknya matahari.

RI Tolak Kebijakan Kemasan Rokok Tanpa Merek di Australia

Nama pria ini adalah Wawan (33). Profesinya adalah juru parkir di salah satu minimarket yang beroperasi 24 jam di Gang Kelor, Matraman, Jakarta Timur. Tak seperti biasanya, pagi itu ‘daerah kekuasaan’ nya masih sepi, tak seramai biasanya. Ia pun asyik menikmati tembakau dan ‘cairan hitam’ di cangkir yang tepat berada di depannya. Sesekali, ia beranjak dan meniup peluit serta menata kendaraan yang datang.

"Pagi gini ngopi nggak bakal enak mas kalau nggak ngudut (merokok)," ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 14 Januari 2016.

Ini Penyebab Rokok Elektrik Makin Digemari Remaja

Merokok bagi Wawan sudah jadi kebutuhan dan kebiasaan. Sambil menunggu pengunjung yang datang, segelas kopi, sebungkus rokok dan gorengan akan menemaninya seharian. Pria satu anak ini mengaku sudah merokok sejak masih duduk di sekolah menengah pertama. Kala itu, ia mengenal rokok dari teman sebayanya. Awalnya hanya ikut-ikutan. Namun kini, ia bisa menghabiskan dua bungkus rokok sehari.

Penghasilannya sebagai juru parkir tak menentu, berkisar antara Rp50 hingga Rp80 ribu per hari. Rp20 ribu akan ia sisihkan untuk membeli rokok. Baru sisanya ia serahkan kepada istrinya untuk belanja dan jajan anak. "Kalau ditanya cukup apa nggak, ya sebenernya segitu nggak cukup, cuma kita atur aja. Kita cukup-cukupin, minjem atau gimana caranya," ujarnya menambahkan.

Produksi Anjlok, Industri Rokok Minta Cukai Tak Naik di 2016

Senasib, Risman, yang menjadi sopir bajaj juga seorang pecandu rokok. Dalam sehari, sebungkus rokok dia habiskan sendiri. Bila harus berbagi rokok dengan teman, kadang ia bisa membeli dua bungkus. Risman tak bisa lepas dari rokok. "Saya sih memang pas-pasan dari segi keuangan, tapi namanya rokok sudah jadi semacam kebutuhan. Ya kayak kita dan BBM atau beras lah. Mau mahal juga tetep kita beli kan, butuh soalnya," kata Risman sambil menghisap rokoknya, Kamis, 14 Januari 2016.

Penyumbang Kemiskinan

Rokok sudah menjadi kebutuhan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, rokok menjadi salah satu penyumbang terbesar kemiskinan di Indonesia. Rokok menjadi penyumbang kedua terbesar setelah beras, dengan kontribusi sebesar 8,08 persen terhadap garis kemiskinan di perkotaan. Sedangkan di perdesaan kontribusinya 7,68 persen. Data tersebut berdasarkan persentase penduduk miskin periode September 2015 yang mencapai 28,51 juta orang atau 11,13 persen dari total jumlah penduduk.

Kepala BPS, Suryamin mengatakan, penduduk miskin memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Hal itu dihitung berdasarkan pengeluaran kebutuhan minimum yang disetarakan dengan 2.200 kalori per kapita per hari. "Di situ dihitung konsumsinya, termasuk konsumsi rokok. Jadi kalau beras share-nya 22 persen, rokok sekitar 8 persen. Konsumsi rokok ini secara nasional maupun dilihat dari bawah garis kemiskinan itu masih cukup tinggi. Jadi rokok ini benar penyumbang kedua setelah beras," ujarnya kepada VIVA.co.id, di kantornya, Kamis, 14 Januari 2016.

Wawan dan Rasman tak sependapat dengan BPS. Mereka menilai, merokok adalah kebutuhan, entah cukup atau tidak penghasilan yang mereka peroleh setiap harinya, tetap harus merokok. "Ya nggak juga, orang-orang kaya juga banyak yang ngerokok. Malah rokoknya juga mahal-mahal. Jadi itu nggak bener," kata Wawan.

Namun, pendapat berbeda disampaikan istri Wawan, Ernawati (29). Ia sepakat dengan survei BPS. "Ya bisa jadi. Kalau nggak ngerokok kan uangnya bisa ditabung," ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 14 Januari 2016.

Erna mengakui, penghasilan suaminya yang tak menentu ditambah biaya rokok memaksa dia harus memutar otak dalam mengelola penghasilan suaminya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan sekolah anak. Seikat kangkung, oncom ditambah seliter beras dirasa cukup untuk menu sehari-hari. "Kadang kita paksain, kita atur-atur lagi, kita cukup-cukupin aja."

Situasi yang sama juga dialami Rukmini (38), istri dari Wiji, pedagang sayur keliling di kawasan Pulo Nangka, Jakarta Timur. Rukmini mengatakan, suaminya merupakan perokok aktif. "Dia suka merokok, sehari habis satu bungkus. Kalau sampai kamar mulai bau rokok, saya ngomel, kan ada anak saya juga," ujar ibu dua anak ini.

Sependapat dengan Erna, Rukmini juga sepakat dengan hasil survei BPS yang menyatakan rokok sebagai penyumbang kemiskinan. Pasalnya, kebiasaan suaminya membeli rokok sudah menjadi kebutuhan yang sulit dihentikan. "Memang sih jadi beban karena kan kebutuhan ya, sebungkus bisa sampai Rp20 ribu. Si bapak kadang sebungkus kurang, repot juga."

Rokok dan Kemiskinan

Bukan tanpa alasan BPS menyebut rokok sebagai penyumbang kemiskinan. Menurut Suryamin, meskipun rokok tidak ada kalorinya, tapi tetap dikonsumsi masyarakat. Bahkan, rokok sudah menjadi hobi atau kebutuhan yang selalu dikonsumsi setiap hari. Dari 345 ribu sampel per kapita per bulan, terdapat 44 ribu sampel untuk konsumsi rokok.

Menurut dia, garis kemiskinan tersebut bisa ditekan, bila warga perkotaan dan pedesaan mengurangi konsumsi rokok dan mengalihkan uangnya untuk belanja beras. Sehingga, kontribusi terhadap konsumsi makanan atau pemenuhan kalori bisa meningkat, dan bisa keluar dari garis kemiskinan. "Jadi kalau konsumsi rokok dicabut tingkat kemiskinan mungkin bisa turun 8 persen. Karena konsumsi rokok ini menimbulkan pengeluaran yang cukup tinggi," ujar Suryamin.

Guna mengukur kemiskinan, BPS mengambil sampel sekitar 300 ribu rumah tangga, baik di desa maupun kota. "Kita data secara detail mulai apa yang dikonsumsi, pengeluarannya, biayanya berapa, termasuk di dalamnya ada pertanyaan tentang rokok itu. Dan September ini, kita buat sampel sebanyak 75 ribu rumah tangga," ujarnya menjelaskan.

Data diperoleh menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Kantor Pusat WHO di Jenewa

WHO menyatakan kelompok masyarakat miskinlah yang paling banyak mengkonsumsi rokok.

World Health Organization (WHO) mengamini hasil survei BPS. Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Kesehatan ini menyatakan, bukti dari berbagai negara di dunia menunjukkan, kelompok masyarakat miskin yang paling banyak mengkonsumsi rokok.

Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian Kesehatan tahun 2013 juga menunjukkan, prevalensi merokok tertinggi adalah pada mereka dengan kemampuan ekonomi terlemah (32,3%) dibanding yang terkaya (24,3%). Kemudian, Data Survei Sosio-Ekonomi Nasional (2003-2010) juga secara konsisten menunjukkan, pengeluaran kelompok ekonomi lemah untuk tembakau, berada di posisi ke dua setelah beras.

"Ini berarti masyarakat kelompok ini lebih memilih membeli rokok dengan dana terbatasnya, dibanding membeli hal lain," kata perwakilan WHO di Indonesia, Sharad Adhikary, Kamis, 14 Januari 2016.

Lembaga Demografis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menyebutkan, uang yang digunakan keluarga miskin untuk membeli rokok, lima kali lebih besar dari uang yang digunakan untuk membeli telur, dan enam kali lebih besar dari uang yang digunakan untuk pendidikan anak.

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) membantah keras pernyataan BPS dan WHO, bahwa rokok menjadi salah satu penyumbang kemiskinan terbesar. “Itu hanya cara mengambil perspektif. Gampangnya, pada saat daftar konsumsi dimunculkan beras no 1, no 2 rokok itu disebut kemiskinan terbesar, tapi tidak disebutkan itu soal nilai dan lain-lain,” ujar Sekretaris Jenderal GAPPRI, Hasan Aoni kepada VIVA.co.id, Kamis, 14 Januari 2016.

Ia bahkan menantang sejumlah pihak untuk melakukan penelitian terhadap orang miskin yang tak merokok. Itu dilakukan untuk membuktikan bahwa kemiskinan adalah sebab dari makro. “Banyak yang tidak merokok juga miskin. Ada sebab lain yang lebih besar. Statistik tidak bisa digeneralisasi,” ujarnya menambahkan.

Menurut dia, aspek kemiskinan itu makro. Artinya dipengaruhi oleh inflasi dan faktor lain. Makin tinggi harga rokok, makin tinggi kemiskinan disebutkan. “Maka yang menentukan rokok dan orang miskin itu karena negara. Karena negara yang menaikkan harga rokok.”

Terus Meningkat

Tingkat konsumsi tembakau di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, terutama pada pria. Sebanyak 67 persen pria dewasa mengkonsumsi tembakau dalam bentuk rokok. Sedangkan perokok dewasa perempuan jumlahnya 5 persen dari jumlah seluruh perokok. "Di kalangan muda, 1 dari 5 remaja usia 13-15 tahun mengkonsumsi tembakau," ujar Sharad.

WHO 'menobatkan' Indonesia sebagai surga perokok. Hal itu lantaran Indonesia tak mampu secara tegas mengatur tembakau yang dapat mendukung turunnya jumlah perokok. Indonesia bahkan menjadi negara yang memungkinkan industri tembakau berkembang sehat.

Peringatan kesehatan bergambar di kemasan rokok Indonesia relatif lebih kecil dibanding negara lain.

Ia mengatakan, di berbagai negara, telah diberlakukan beragam kebijakan, seperti peringatan kesehatan bergambar yang besar dan mengerikan pada kemasan untuk mempengaruhi pandangan publik terhadap rokok. "Di Indonesia gambarnya relatif lebih kecil, 40 persen dari permukaan kemasan," ujarnya menambahkan.

Indonesia juga tidak memiliki peraturan nasional yang bisa mengatur pelarangan iklan tembakau, promosi dan sponsor, kegiatan masyarakat seperti CSR (corporate social responsibility). Harga dan pajak produk tembakau di Indonesia juga tergolong terendah di dunia.  Di sisi lain, Kementerian Perindustrian berupaya keras untuk meningkatkan produksi rokok hingga 550 biliun di tahun 2020, dengan 350 biliun batang bagi konsumsi lokal.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI, Untung Suseno Sutarjo tak menampik, jumlah perokok di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Menurut dia, yang menjadi perhatian serius Kemenkes saat ini adalah jumlah perokok pemula yang terus meningkat. "Yang dewasa itu sudah terlambat ya. Tapi yang pemula itu yang kita takut. Yang saya tahu itu peningkatan, perokok pemula yang masih muda-muda dan remaja. Maka dari itu, kita agak ngeri juga bahwa iklan rokok itu sekarang menuju ke remaja," ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 14 Januari 2016.

Untung mengatakan, kebiasaan merokok adalah mindset atau pola pikir yang berhubungan dengan moral seseorang. Untuk itu, Kemenkes selalu berupaya mengubah pola pikir masyarakat agar berhenti merokok. Mulai dari melakukan kampanye anti rokok dan menerapkan kawasan dilarang merokok.

Ia tak sependapat dengan WHO yang menyebutkan Indonesia adalah surga bagi perokok. Meskipun belum meratifikasi FCTC, Kemenkes mengklaim sudah banyak kegiatan yang dilakukan pemerintah dan banyak peraturan yang dikeluarkan untuk menurunkan angka perokok di Indonesia.

Ratifikasi FCTC

Pemerintah memang telah mengeluarkan sejumlah regulasi terkait rokok. Namun, regulasi yang ada tampaknya belum bisa menekan konsumsi rokok di Indonesia. Pemerintah juga belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau yang dicanangkan WHO.

Untung mengatakan, regulasi bukan semata tugas pemerintah, tapi juga DPR RI. Ia berdalih, regulasi tersebut terhambat karena kerap dikaitkan dengan nasib petani tembakau. "Ya nggak juga. Kita lihat saja rokok juga impor kok dari luar negeri. Tembakau kita buktinya sudah berapa tahun petaninya miskin-miskin saja, nggak kaya-kaya juga padahal jumlah perokok bertambah. Harusnya kan dia tambah kaya."

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi meminta pemerintah berkomitmen membatasi penjualan dan iklan promosi rokok dengan ketat. Ia menilai, regulasi yang ada masih parsial dan terlalu menganakemaskan pabrik rokok besar. "Hanya di Indonesia rokok dijual bebas. Jadi untuk mengatasi konsumsi rokok di rumah tangga miskin ya harus dijual mahal. Jangan (dijual) ketengan, dan iklannya harus dilarang total. Yang paling ideal ya ratifikasi FCTC," kata Tulus, Jumat, 15 Januari 2016.

Sharad juga berharap, pemerintah menunjukkan komitmen politik dan tanggung jawab menjaga kesehatan rakyat dengan menekan jumlah perokok dan pengendalian tembakau. Secara global, komitmen terhadap pengendalian tembakau terlihat dari ratifikasi FCTC oleh 180 dari 190 negara/teritori anggota WHO.

FCTC merupakan landasan bagi pemerintah untuk mengatur hal terkait tembakau yang akan menolong menurunkan jumlah perokok. "Indonesia adalah satu-satunya negara anggota WHO kawasan Asia Tenggara, di ASEAN dan di organisasi negara-negara Islam, yang belum meratifikasi FCTC untuk dapat berpartisipasi dalam berbagai diskusi internasional bagi pengendalian tembakau dan kaitannya dengan isu ekonomi dan sosial.”

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya