Harga Melonjak, Pedagang Daging Sapi Pilih Tak Jualan

Sumber :
  • ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

VIVA.co.id - Harga daging sapi di pasar tradisional Pasar Jumuah, Jalan Jenderal Sudirman, Purwakarta, Jawa Barat masih bertahan di kisaran Rp120 ribu per kilogram (kg), atau naik Rp30 ribu dari harga semula Rp90 ribu per kg.

Strategi Mendag Atasi Calo Daging Sapi

Salah seorang pedagang, Eneng Kokom Komariah (38) mengatakan, kenaikan daging terjadi sejak awal tahun, dan puncaknya dalam beberapa hari terakhir atau setelah pemerintah berencana menerapkan peraturan pajak potong sebesar 10 persen.

"Kalau stok di bandar mah ada, tapi sudah mahal sejak awal tahun dan puncaknya dalam beberapa hari ini," kata Eneng Kokom, Selasa, 26 Januari 2016.

Pengusaha Daging Permainkan Harga, Mendag Cabut Izin Usaha

Dia menjelaskan, para pedagang daging sapi juga terpaksa harus libur berjualan, dengan memilih menutup lapak dan sebagian pedagang banting stir menjadi berjualan kebutuhan lain, seperti mayur mayur.

"Sudah seminggu para pedagang di sini pada libur, dipaksakan juga sulit dapat untungnya," ujarnya menambahkan.

Mendag: Pengusaha Boleh Ambil Untung Tapi Jangan Berlebihan

Sementara, terkait dengan mahalnya harga, Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, langsung turun melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah pasar tradisional. Menurut Dedi, kenaikan harga daging sapi terjadi akibat kepanikan pasar pasca digulirkannya rencana pemberlakuan biaya pajak potong.

"Meski pajak sudah kembali dicabut, tetap saja image kenaikan sudah masuk di pemikiran para pedagang, sehingga harga terus mengalami kenaikan," kata Dedi.

Dedi juga menilai, mahalnya harga daging sapi, karena basis produktifitas peternakan di negara ini sangat rendah, sehingga ke depan harus dibuat langkah untuk pemenuhan kebutuhan daging. "Kalau di Purwakarta, sejak tahun 2012 lalu sudah melakukan upaya agar pemenuhan kebutuhan daging. Salah satu di antaranya dengan membentuk sistem pendidikan berkarakter. Di mana dari 155 ribu siswa, satu orang siswa sekolah harus memelihara satu hewan ternak," ujarnya.

Dedi menambahkan, upaya memasukkan tradisi beternak dalam pendidikan diharapkan agar ke depannya masyarakat dapat kembali pada kultur masyarakat Indonesia sebagai petani dan peternak, mengingat bidang ternak atau bertani tidak lagi diminati.

"Kalau gengsi-gengsian, apa yang dihasilkan kita saat ini. Kita harus segera bangkit.”

(Laporan: Jay Bramena)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya