Aturan Fintech Inkonsisten, Sasaran Inklusi Keuangan Sulit Tercapai

Ilustrasi fintech.
Sumber :
  • Fintech News Switzerland/Pixabay

VIVA – Berubah-ubahnya aturan yang dibuat oleh regulator bagi penyelenggara financial technology (fintech) di Indonesia diyakini menjadi sentimen negatif buat laju pertumbuhan industri tersebut.

Revisi UU ITE Disahkan, Privy Siap Amankan Transaksi Keuangan Digital

Tanpa ekosistem yang jelas, fintech yang pertumbuhannya masih stagnan pada akhirnya akan membuat target inklusi keuangan sebesar 75 persen pada 2019 sulit tercapai.

Ekonom Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan, fintech merupakan senjata utama Indonesia bisa mencapai tingkat inklusi yang diharapkan saat ini. Terlebih tingkat bankable masyarakat di daerah masih tergolong rendah.

Inovasi untuk Menciptakan Produk yang Sesuai Kebutuhan

Berdasarkan data Findex, pada 2017 baru 49 persen orang dewasa yang mempunyai akses ke sistem finansial formal. Di sisi lain, 69 persen populasi belum mendapatkan akses perbankan padahal telah menggunakan smartphone dan bisa terakses langsung ke fintech.

"Kalau misalnya ada aturan yang bertabrakan, pertama ini memengaruhi fintech. Kedua, fintech ini tidak bisa bekerja optimal untuk melakukan inklusi keuangan," ujar Andry dalam keterangannya, Selasa 14 Agustus 2018.

Kiat Bijak Memilih Layanan Pinjaman Fintech: Produktif atau Konsumtif?

Penyataan Andry tersebut menanggapi bocornya sejumlah aturan regulator ke publik. Di mana beberapa aturan yang diwajibkan penyelenggara fintech, justru bertentangan dengan aturan POJK Nomor 77 Tahun 2016.

Di antaranya terkait tingkat biaya ekonomi pendanaan, alias suku bunga fintech yang hendak dibatasi agar tidak lebih tinggi dari perbankan, perusahaan pembiayaan, koperasi maupun Lembaga keuangan mikro.

Padahal dalam POJK 77 Tahun 2016, jelas-jelas dinyatakan, OJK sebagai otoritas tidak mengatur soal batas maksimal bunga kredit dalam fintech lending.

Selain itu, penyelenggara fintech juga tidak diperkenankan mengenakan denda atau kewajiban finansial lainnya terhadap penerima pinjaman, dengan jumlah akumulatif bersih melebihi 20 persen dari nilai pokok pinjaman.

Andry menuturkan, adanya aturan yang belum jelas tersebut, membuat iklim inovasi fintech tergerus. Apalagi, regulasi mengenai bunga ini jelas berseberangan dengan apa yang tertuang dalam POJK.

“Kalau misalnya ada pembatasan bunga, itu terasa kontradiktif dengan POJK sendiri. Tentu ke depannya kalau tidak ada sinergi antara kebijakan itu, ke depan justru pemain yang ingin mengembangkan fintech jadi ragu-ragu.” (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya