CAD dan Utang Dinilai Bisa Jadi 'Pencabut Nyawa' Ekonomi RI

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA – Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance atau INDEF, Didik Junaidi Rachbini mengungkapkan, persoalan defisit transaksi berjalan atau current account deficit/CAD dan utang negara, merupakan momok berbahaya bagi perekonomian suatu negara.

Kemenkeu: Pertumbuhan Ekonomi 2021 yang Dirilis BPS Sesuai Prediksi

Dia mengungkapkan, bila keduanya tidak diperbaiki dengan signifikan, akan salah menjadi pencabut nyawa bagi perekonomian domestik. Sebab, bila keduanya tidak dikelola dengan baik, perekonomian suatu negara akan mudah goyang, jika diterpa gejolak perekonomian eksternal.

"Jadi, ada dua malaikat pencabut nyawa yang jadi sumber masalah," katanya di Jakarta, Selasa 6 Oktober 2018.

BPS: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2021 Capai 3,69 Persen

Didik membuktikan, persoalan CAD pada dasarnya menjadi salah satu faktor yang mengguncang perekonomian negara-negara Asia, termasuk Indonesia saat krisis melanda di 1998. Hal itu menyebabkan devisa yang dimiliki suatu negara tidak mampu membiayai aktivitas ekonominya, khususnya impor, utang, dan pembayaran dividen investasi asing.

"Yang krisis itu mereka mengalami defisit neraca berjalan. Artinya, devisa yang dia peroleh tidak cukup membiayai kebutuhan dia akan impor barang maupun jasa," tutur dia.

BI Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 2022 Maksimal 5,5 Persen

"Setelah 20 tahun, Indonesia tertinggal, yang lain sudah beres. Thailand sudah surplus tujuh sampai delapan persen, sehingga Trump (Presiden Amerika Serikat) mau ngomong apa, dia enggak apa-apa (perekonomiannya), beda dengan di sini (Indonesia)," ungkapnya menambahkan.

Dari sisi utang, lanjut dia, hal itu juga menjadi momok, lantaran porsi kepemilikian utang di Indonesia sangat didominasi oleh portofolio asing. Sehingga, ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar, dapat dipastikan kesulitan pembayaran utang maupun bunganya lebih tinggi, lantaran secara nominal akan turut melebar jauh.

Terlebih, lanjut dia, utang swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini luput dari perhatian untuk membayar berbagai utang, demi pengerjaan infrastruktur juga perlu diwaspadai, lantaran rasio utang terhadap PDB menjadi semakin lebar.

"Jadi, kalau digabung ke dua-duanya bisa 60 persen lebih, belum lagi utang BUMN yang dengan infrastruktur banyak mengutang. Jadi, gabungan antara utang pemerintah, BUMN, BI cukup besar. Itu kalau enggak hati-hati, jadi pencabut nyawa. Kita harus awas makanya," tegasnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya