Bahaya yang Diciptakan dari Berdirinya Dewan Moneter di Indonesia

Logo Bank Indonesia.
Sumber :
  • VivaNews/ Nur Farida

VIVA – Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia Periode 2017-2020, Mohamad Fadhil Hasan menilai, independensi Bank Indonesia kini telah teramputasi. Bahkan, sebelum adanya wacana pembentukan Dewan Moneter oleh DPR.

Perkuat Bauran Kebijakan, Bank Indonesia Ungkap Manuver dan Inovasinya

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tersebut mengungkapkan, terkikisnya independensi BI saat ini disebabkan adanya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020.

"Independensi BI melalui UU Nomor 2 Tahun 2020 sebetulnya sudah membuat pincang karena BI tidak independen lagi dengan skema burden sharing yang disepakati," kata dia dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 4 September 2020.

Sri Mulyani: Kita Tidak Boleh Abaikan Risiko Resesi, Sebab...

Baca Juga: Soal Dewan Moneter, Faisal Basri: Pajak Anjlok, Kenapa BI Diobok-obok?

UU itu mengharuskan BI berbagi beban atau burden sharing dengan pemerintah untuk membiayai defisit APBN dengan membeli surat utang negara di pasar perdana dengan bunga nol persen. Kondisi itu disebabkan dampak Pandemi COVID-19.

Utang Luar Negeri Indonesia Turun Jadi US$413,6 Miliar

"Kini perppu dan RUU BI (yang merevisi ketiga UU Nomor 23/1999) akan menyebabkan independensi tidak hanya pincang namun berisiko menjadi teramputasi secara permanen dari Bank Indonesia," ungkap Fadhil.

Fadhil menduga Perppu dan RUU BI diperkirakan akan menjadikan bank sentral masuk menjadi bagian dari pemerintah sebagaimana peranannya kementerian lembaga (K/L) dalam kabinet.

Kata Fadhil, itu tergambar dari Draf pasal 9A dan 9B RUU BI di mana Dewan Moneter akan dipimpin Menteri Keuangan yang bertugas mengarahkan kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan pemerintah di bidang perekonomian.

"Bank Indonesia tidak lagi secara independen menilai apakah kondisi ekonomi dapat dinyatakan terjadi instabilitas keuangan sehingga menyebabkan diperlukan atau tidak bantuan likuiditas terhadap bank sistemik," ungkapnya.

Pasal 11 Draf RUU BI tersebut bahkan dikatakannya menyebutkan bahwa BI dapat menyelamatkan bank sistemik yang gagal melalui fasilitas pembiayaan darurat yang tata cara dan ketentuannya harus sesuai dengan UU terpisah.

"Dalam hal ini Bank Indonesia dikesankan sebagai juru bayar atau cetak uang yang bebannya dikembalikan lagi ke Bank Indonesia dan Pemerintah," tegas Fadhil.

Fadhil mengingatkan bila RUU dan Perppu yang merevisi UU BI dilanjutkan maka akan membuat stabilitas sistem keuangan dalam bahaya. Buktinya, kata dia, sekarang ini nilai tukar rupiah justru melemah di tengah penguatan nilai mata uang negara lain.

"Pasar telah merespons negatif rencana ini. RUU dan Perppu ini tidak dilandasi oleh argumen ilmiah yang kuat dan hanya didorong oleh pertimbangan jangka pendek yang bersifat personal dan politis," tutur Fadhil. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya