Strategi RI Hadapi Perang Dagang di Tengah Pandemi COVID-19

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Sumber :
  • Dokumentasi Kemenko Ekonomi.

VIVA – Pemerintah Indonesia menganggap tantangan ekonomi akhir tahun ini hingga tahun depan tidak semakin mudah. Ini disebabkan memanasnya perang dagang di level global meski masih adanya Pandemi COVID-19.

Wapres Ma'ruf Serukan Umat Islam Bangkitkan Ekonomi Syariah

Ini diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto saat mewakili Presiden Joko Widodo menjadi pembicara kunci di acara Economic Outlook 2022 secara virtual, Senin, 22 November 2022.

Airlangga mengatakan, di tengah ancaman tekanan ekonomi akibat perang perdagangan tersebut, wabah pandemi COVID-19 pada dasarnya juga sedang mengalami ancaman gelombang penyebaran ke-4.

Airlangga: Negara Anggota OECD Akui Leadership RI di ASEAN dan G20

"Kita ketahui COVID-19 belum berakhir dan dengan berbagai variannya di Eropa itu menimbulkan gelombang ke-4, ini yang harus kita jaga," kata Ketua Umum Partai Golkar ini.

Menurut dia, ketidakpastian akibat virus corona tersebut semakin berpotensi membebani ekonomi ke depannya karena perang perdagangan antara negara-negara maju kembali mencuat saat ini.

RI Dibayangi Meningkatnya Persaingan Global, Luhut: Tak Ada yang Bisa Mendikte Kita

"Kita tentu harus menjaga ketidakpastian geopolitik akibat perang dagang yang dilanjutkan saat COVID-19 dan tentu geopolitik ini sangat berpengaruh di kawasan Indo Pasifik," papar dia.

Airlangga menilai, kondisi memanasnya perang perdagangan ini akan semakin tinggi karena diikuti dengan kehadiran aliansi antara Australia, Inggris dan Amerika Serikat atau yang disebut AUKUS.

"Kelihatan bisa meningkatkan temperaturnya terutama dengan kerja sama AUKUS antara Inggris, Amerika Serikat dan Australia untuk merespons kenaikan temperatur politik di kawasan Indo Pasifik," tegasnya.

Ilustrasi perang dagang AS-China.

Photo :
  • UK Investor Magazine

Selain itu, Airlangga mengatakan, perekonomian juga masih dihadapi oleh ancaman tapering bank sentral negara-negara maju khususnya The Federal Reserve yang berpotensi menciptakan capital outflow.

"Kemudian naiknya harga-harga energi yang bisa menimbulkan krisis energi ke depan. Kita ketahui energi sempat harganya minus tapi ini kenaikannya yang diperkirakan sangat berpengaruh terhadap negara kita," ungkapnya.

Ancaman kenaikan harga energi ini ditegaskannya terutama akan terkait subsidi-subsidi energi. Apalagi dari sisi neraca perdagangan energi RI minus US$0,9 miliar di tengah kondisi perubahan iklim.

Menyikapi potensi tantangan tekanan perekonomian tersebut Airlangga menekankan pemerintah akan terus mempertahankan strategi gas dan rem ke depannya.

"Kalau kita bicara tantangan perekonomian kita melihat beberapa hal menjadi tantangan artinya gas dan rem tetap kita harus jaga," tegas Airlangga.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya