Peran Realistis Hulu Migas dalam Transisi Energi

Wilayah kerja migas lepas pantai yang dikelola Medco Energi.
Sumber :
  • Medcoenergi.com

VIVA – Ibarat telur dan ayam. Energi fosil dan energi baru terbarukan (EBT) bak sebuah kesatuan. Mereka tak bisa dipisahkan begitu saja dalam sebuah proses transisi menuju energi yang bersih.

Rukun Raharja Cetak Laba Bersih US$8 Juta di Kuartal I-2024

Transisi energi telah menjadi komitmen bersama dunia untuk mengurangi emisi karbon. Pemerintah menargetkan EBT dalam bauran energi sebesar 23 persen pada 2025 dan terus tumbuh jadi 31 persen pada 2050.

Dalam COP 26 sendiri, Indonesia pun sepakat dengan target penurunan emisi menjadi nol bersih atau net zero emission tercapai pada tahun 2060. Tapi, bukan berarti sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) atau fosil serta merta bisa ditinggalkan begitu saja. 

Jajaki Potensi Blok Migas Internasional, Pertamina Gandeng ENI

Menurut data SKK Migas, permintaan migas akan mencapai angka tertinggi pada 2030. Ini merupakan proyeksi berdasarkan kebijakan energi yang telah diumumkan di seluruh dunia (stated policies scenario).

SKK Migas sendiri menargetkan produksi minyak nasional sebesar 1 juta barel per hari (BOPD) dan gas sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030. Ini akan dicapai beriringan dengan penciptaan keberlanjutan lingkungan.

Turun 12,76 Persen, BPS Catat Kinerja Impor Maret US$17,96 Miliar Gegara Ini

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pun mengatakan, eksplorasi di hulu migas tetap menjadi sangat penting untuk menunjang produksi.

"Eksplorasi juga penting dalam menunjang produksi pasca 2030," ujar Dwi belum lama ini.

PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) menjadi salah satu perusahaan yang serius menjalankan bisnis migas dengan tetap menjadikan EBT sebagai prioritas.

Direktur Utama Medco Energi, Hilmi Panigoro mengatakan, pencapaian target produksi migas dan penurunan emisi karbon memang tampak seperti dua hal yang bertentangan. Namun, kedua ini harus dijalankan secara beriringan.

Medco Energi hingga kini masih bertumpu pada bisnis migas, terlihat dari porsi belanja modal yang dialokasikan. Tahun ini, Medco Energi mengalokasikan US$150 juta untuk belanja modal 2021, dari total belanja modal sebesar US$215 juta.

Saat ini, dengan harga komoditas yang terus membaik dan permintaan gas domestik yang mulai pulih, Medco Energi akan terus memenuhi rencana dan komitmennya untuk kepentingan stakeholder.

“Seiring kebijakan Pemerintah untuk transisi energi, Medco Energi berkomitmen untuk mengurangi dampak operasi terhadap lingkungan dalam mencapai Net Zero untuk Emisi Scope 1 dan Scope 2 pada 2050 dan Scope 3 pada 2060,” ujar Hilmi.

Jangan Sampai Kelangkaan Terjadi

Hilmi melanjutkan, penggunaan minyak dan gas bumi dalam proses transisi energi ini menjadi sangat penting. Sebab, semua pihak tentu tidak ingin terjadi kelangkaan atau krisis energi. Jika infrastruktur pendukung transisi energi belum siap, maka bisa saja terjadi kelangkaan energi dan harga energi fosil bisa naik berkali-kali lipat.

"Salah satu lembaga riset Timur Tengah mengatakan, kalau hari ini kita berhenti eksplorasi di migas hanya mengandalkan lapangan yang ada sekarang. Lalu infrastruktur untuk renewable and new energy belum terbentuk. Harga minyak itu bisa naik 3 kali lipat," paparnya.

Kondisi ini, lanjut dia, sudah terjadi kira-kira sebulan yang lalu. Harga gas minyak bisa naik 3 kali lipat karena permintaan yang tinggi. Sementara suplai belum pulih.

"Kita tidak inginkan itu terjadi. Terutama di negara berkembang seperti Indonesia, karena kita ini kan sangat tergantung pertumbuhan ekonomi kita kepada suplai energi yang sustainable dan murah," tuturnya.

Realistis dengan Tetap Ekspansi

Proyek pembangkit listrik geothermal Medco Energi.

Photo :
  • Medcoenergi.com

Hilmi mengatakan, proyeksi EBT dalam bauran energi memang akan meningkat ke depannya, sedangkan energi fosil dalam bauran energi akan semakin berkurang. Hilmi mencontohkan, jika kendaraan listrik dikembangkan dengan akselerasi, maka pada tahun 2040, permintaan minyak dunia akan berkurang drastis untuk kendaraan.

"Akan tetapi pertumbuhan kebutuhan untuk aviasi, industri serta untuk petrokimia itu masih terus terjadi," ungkapnya.

Hilmi pun menegaskan, target 1 juta BOPD dan 12 BSCFD dari SKK Migas itu memang adalah kebutuhan. Indonesia, Asean dan Asia menurutnya punya keunikan tersendiri yang tidak bisa dibandingkan dengan Eropa dan Amerika.

"Karena itulah menurut saya, kita komit menurunkan emisi karbon tetapi kita harus realistis di dalam proses transisi ini. Kita tetap harus make sure menyediakan energi yang affordable dan sustainable," paparnya.

Medco Energi sendiri menargetkan produksi migas mencapai 95 ribu setara minyak per hari (MBOEPD) yang dikontribusikan dari minyak 38 MBOEPD dan gas bumi 57 MBOEPD pada 2021.

Produksi MedcoEnergi dan proyek pengembangan.

Photo :
  • Medco

Hilmi mengatakan, pihaknya tetap akan melakukan pengembangan dan ekspansi dengan cara organik seperti eksplorasi dan eksploitasi hulu migas maupun melalui akuisisi blok atau lapangan baru.

"Kita secara proaktif selalu mencari peluang akuisisi yang baru," katanya.

Penurunan Intensitas Karbon dan Peran Gas Bumi

Hilmi menuturkan, pihaknya sudah menurunkan intensitas karbon dalam bisnisnya. Setidaknya sejak 2018, Medco berhasil menurunkan intensitas karbon dari 248 kilo ton CO2 ekuivalen per juta ton minyak per hari menjadi 218 kilo ton CO2 ekuivalen per juta ton minyak per hari.

Cara yang dilakukan ada dengan menggunakan teknologi yang paling efisien untuk mesin hingga mengurangi flaring gas dan memperbanyak portofolio bisnis energi bersih.

"Sebagai contoh di Amman (anak usaha Medco) itu operasi tambang kita di sumbawa hari ini kita sedang proses pembangunan pembangkit listrik tenaga gas untuk konversi dari coal (batu bara) yang ada di situ sekarang. Dia akan gunakan gas," katanya.

Selanjutnya, Hilmi mengatakan, pihaknya juga membangun pembangkit listrik tenaga matahari dengan kapasitas 26 megawatt (MW). "Kenapa masih tetap perlu gas karena memang matahari ini masih ada intermitensi. Sehingga transisinya harus dijaga oleh gas," paparnya.

Ke depan yang menurutnya perlu diperhatikan bersama dalam pengembangan EBT adalah masalah tarif yang belum ekonomis. "Sehingga perlu ada semacam insentif khusus dari pemerintah dengan tarif sistem yang lebih smart," kata dia.

Ia mencontohkan, dalam hal tarif pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal. Medco Energi sendiri sangat tertarik untuk mengembangkan sektor ini. Namun, belanja modal pembangkit geothermal diakui cukup besar, mencapai US$5 juta untuk 1 MW, dibandingkan gas hanya US$700 ribu.

"Tetapi feedstock-(bahan baku)-nya, kalau gas kan mahal. Mesti beli. Kalau geothermal itu kan praktis, gratis, karena dia steam yang keluar dari bumi itu. Praktis, gratis," ungkapnya.

Untuk itulah, maka perlu sistem tarif yang lebih cerdas untuk pengembangan geothermal. "Misalnya mungkin (tarif) 5 tahun pertama tinggi dulu, setelah 5 tahun, setelah Capex (belanja modal) kembali lalu drop ke rendah dan makin lama makin rendah. Sehingga rata-ratanya bisa lebih rendah," usulnya.

Hal seperti inilah yang menurut Hilmi perlu digalakkan untuk meningkatkan antusiasme investasi di EBT.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya