Sederet PR Wujudkan Transisi Energi Terbarukan

Ilustrasi energi terbarukan.
Sumber :
  • Inhabitat

VIVA – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan,  pembicaraan mengenai transisi energi dari energi kotor ke energi terbarukan mulai naik daun pada 2021, sehingga mempengaruhi beberapa kebijakan. Antara lain, pemerintah mengumumkan rencana mencapai dekarbonisasi pada 2060, tidak ada lagi pembangunan PLTU, dan rencana mempensiunkan dini PLTU.

Isu Partai Rival Gabung Dukung Prabowo, Sangap Surbakti Khawatir Bisa Jadi Duri dalam Daging

Kemudian, pemerintah menetapkan porsi energi terbarukan lebih besar dari fosil dalam RUPTL 2021-2030. 

“Ini menunjukkan perubahan paradigma pemerintah, yang tadinya bertumpu pada fosil kemudian transisi energi dengan memperbanyak kapasitas energi terbarukan,” kata Fabby dalam keterangannya, Rabu 29 Desember 2021.

Geger Seorang Ulama Pesohor Kritik Nabi Muhammad

Tapi, Fabby mencatat, pemerintah memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mewujudkan transisi energi. 900 MW tambahan kapasitas energi terbarukan masih jauh di bawah target. Seharusnya 2002-2025 Indonesia menambah 14 ribu MW untuk mencapai target 23% energi terbarukan.

“Jadi memang harus nambah 13 ribu MW. Dalam empat tahun ke depan, kita harus bisa mengejar itu, kapasitas yang harus dibangin 3 ribuan MW setiap tahun. Ini tantangan,” ujar Fabby.

Krisis Populasi Jepang: Setengah Perempuan Muda Hilang di 40 persen Wilayah pada 2050

Dia mendesak pemerintah melengkapi dan memperbaiki kerangka regulasi yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan bisa lebih cepat. Regulasi yang menghambat pengembangan energi terbarukan harus diganti. Untuk meningkatkan daya tarik investasi, tidak harus melalui pemberian insentif. 

“Kepastian peraturan itu penting,” kata dia.

Kemudian, lanjut dia, lelang energi terbarukan harus jelas setiap tahunnya, sehingga investor bisa mengalokasikan rencana investasinya dalam jangka panjang di Indonesia. “Frekuensinya diatur, volume lelang juga diatur,” kata Fabby.

Program Manager Prakarsa Herni Ramdlaningrum mengatakan, transisi energi di Indonesia sudah ada kemajuan walau masih belumcukup effortnya. Misal, sudah ada planning early coal retirement. Arah kebijakan keuangan menuju hijau (green taxonomy/carbon tax). Namun, untuk mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025 masih jauh.

“Sekarang ini masih di sekitar angka 12%. Kalau untuk mengatasi dampak perubahan iklim, Indonesia targetnya masih belum ambisius. Padahal bencana akibat perubahan iklim sudah jelasdan potensi menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar. Apalagi kalau bicara mengenai economic recovery,harusnya potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim sudah masuk pertimbangan untuk diantisipasi serius,” ujar Herni.

Menurut dia, pemerintah seharusnya lebih melibatkan organisasi masyarakat dalam proses transisi energi sehingga pembuatan kebijakan dapat lebih inklusif dan partisipatif. Koherensi kebijakan lintas sektoral menjadi sangat penting agar transisienergi dapat terkoordinasi antara PLN, Kementeriam ESDM danKementeriam PPN/Bappenas. 

Pemerintah juga perlu menciptakan ekosistem yang memadai sebelum mengelurkan kebijakan terkait carbon tax dan carbon trading, apalagi dengan harga Rp30 /kg co2 yang dinilai masih terlalu rendah. Masyarakat juga perlu mendesak pemerintah untuk segera beralih dari penggunaan batu bara Jika benar-benaringin mencapai net zero di 2050.

Sedangkan dari sisi pembiayaan transisi energi, peneliti Prakarsa Fiona Armintasari mengatakan perlu melibatkan berbagai pihak: pemerintah, lembaga keuangan internasional, dan institusi perbankan. Saat ini lembaga keuangan internasional mendominasi pembiayaan transisi energi. Padahal peran bank terutama swasta, sangat penting dalam mendorong transisi energi, apalagi di Indonesia sekitar 80% aset keuangan dipegang bank swasta. 

“Ekosistem keuangan berkelanjutan perlu terus didorong untuk mempercepat transisi energi salah satunya green taxonomy yang saat ini tengah disusun OJK. Green taxonomy nantinya akan memobilisasi pendanaan ke sektor EBT serta sektor lainnya yang mendukung upaya pengendalian perubahan iklim. Sudah ada definisi yang jelas tentang apa saja aktivitas bisnis yang bisa dikategorikan hijau. OJK harus memastikan tidak ada peluang greenwashing dengan dibentuknya green taxonomy,” kata Fiona.

Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia Tiza Mafira mengatakan, pemerintah perlu memberikan  kemudahan kepada masyarakay untuk melakukan transisi energi mikro di rumah tangga. Seperti tarif net metering untuk solar panel yang benar-benar menghasilkan penghematan tagihan listrik, infrastruktur yang mendukung peralihan ke transportasi umum listrik dan kendaraan pribadi listrik, serta insentif untuk memilih produk yang efisien energi. 

“Masyarakat bisa menciptakan demand tinggi, tetapi perlu diberi insentif untuk beralih massal ke energi baru dan terbarukan,” tegas Tiza. 

Untuk mempercepat transisi energi dan penanganan perubahan iklim, tahun 2022 pemerintah harus lebih berani menghilangkan subsidi energi fossil fuel yang menghambat daya saing energi baru dan terbarukan dan menciptakan mekanisme pembatasan karbon yang tidak tanggung-tanggung. 

Kalau ada sinyal kuat bahwa era fossil fuel sudah selesai, Tiza yakin investor akan lebih yakin berinvestasi di sektor energi baru dan terbarukan di Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya