Risiko Resesi Intai Negara Asia, Sri Mulyani: RI Harus Waspada

Menkeu Sri Mulyani di FMCG G20 di Bali.
Sumber :
  • VIVA/Anisa Aulia

VIVA Bisnis – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, akan terus mewaspadai risiko inflasi, resesi, dan stagflasi yang saat ini mengintai perekonomian dunia tak terkecuali Indonesia. Sebab risiko ini berlangsung hingga 2023.

Sri Mulyani, Andika Perkasa, dan Risma Masuk Bursa Cagub PDIP DKI

Adapun berdasarkan survei Bloomberg negara-negara Asia diperkirakan akan mengalami resesi. Untuk Indonesia melalui data itu potensi resesi ada di angka 3 persen, sedangkan Sri Lanka berada di posisi pertama sebesar 85 persen, diikuti New Zealand 33 persen, Korea Selatan 25 persen.

“Kita tetap harus waspada karena ini akan berlangsung sampai tahun depan. Risiko global mengenai inflasi dan resesi, atau stagflasi sangat riil dan akan menjadi salah satu topik penting pembahasan kita di G20,” ujar Sri Mulyani di Sofitel Nusa Dua Bali, Rabu 13 Juli 2022.

Kendalikan Inflasi, Kemendagri Harap Pemda Susun Perencanaan Gerakan Menanam dengan Baik

Baca juga: Erick Thohir Dorong Belawan Jadi Pelabuhan Ekspor 'Direct Call'

Ani begitu sapaan akrabnya mengatakan, Indonesia dari neraca pembayaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, ketahanan Produk Domestik Bruto (GDP), korporasi, dan rumah tangga berada dalam situasi yang lebih baik dari negara lainnya.

Ekonomi Kuartal I-2024 Tumbuh 5,11 Persen di Tengah Gejolak Global, Sri Mulyani: APBN Jaga Daya Beli

“Kita relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risikonya 3 persen, ibaratkan negara lainnya potensi untuk mengalami resesi jauh di atas 70 persen. Ini tidak berarti kita terlena, kita tetap waspada namun pesannya adalah kita tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan kita,” jelasnya.

Ilustrasi resesi global

Photo :
  • U-Report

Ani mengungkapkan, untuk Indonesia semenjak kejadian krisis global pada 2008-2009 saat ini sektor keuangan berada pada posisi yang relatif lebih prudent (bijaksana). Sehingga kemampuan untuk bangkir semakin bagus. Dengan itu untuk non performing loan (NPL) masih tetap terjaga.

“Juga eksposur terhadap pinjaman luar negeri juga menurun. Artinya belajar dari krisis global 2008-2009 sektor korporasi finansial APBN, moneter semuanya mencoba memperkuat diri sendiri pada saat hadapi risiko sekarang ini. Kita dalam situasi daya tahan masih lebih baik makanya kita disebutkan ratingnya lebih kecil,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya