Soal RUU Kesehatan, DPR Diminta Serap Aspirasi Ekosistem Tembakau Hulu hingga Hilir

Petani menjemur daun tembakau di Sidomulyo, Senden, Selo, Boyolali, Jawa Tengah. (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

VIVA Bisnis –  Ekosistem pertembakauan dari hulu hingga hilir meminta seluruh aspirasinya bisa diakomodir terkait penolakan Pasal Pengamanan Zat Adiktif Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Aspirasi tersebut bisa disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panja Komisi IX DPR RI.

Laba Bersih Bank Jago Naik 24 Persen Kuartal I-2024, Intip Sumber Cuannya

Kesepakatan tersebut juga dituangkan dan ditegaskan dalam momentum Silaturahmi Ekosistem Pertembakauan, Selasa, kemarin. Seperti diketahui, polemik RUU Kesehatan, khususnya pasal 154 terkait Pasal Pengamanan Zat Adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika,  psikotropika dan minuman beralkohol telah menimbulkan gejolak dan ancaman bagi keberlangsungan ekosistem pertembakauan.

Dijelaskan, secara substansi, pengelompokkan tersebut yang notabene menyamakan tembakau dengan barang ilegal jelas menyalahi perundangan. Terlebih tembakau merupakan komoditas strategis perkebunan dalam Undang-Undang No.39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.

Bea Cukai Yogyakarta Beri Izin Tambah Lokasi Usaha untuk Produsen Tembakau Iris Ini

Tumbuhan tembakau

Photo :
  • Pixabay

Dari sisi hulu, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) juga menilai Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan jelas melanggar hukum. APTI menekankan bahwa dampak polemik regulasi ini bukan hanya ke industri hasil tembakau (IHT).

Bukan Dibakar, Begini Cara Buktikan Keaslian Madu Murni

"Industri mati, kami petani tembakau mati. Tembakau jelas komoditas legal. Kami kecewa, di saat kami sedamh menanam tembakau, diombang-ambingkan regulasi. Kalau kami tidak bisa menanam, kami mau seperti apa. Sampai saat ini,  belum ada komoditi di musim kemarau yang pendapatannya seperti tembakau. Harusnya negara melindungi keberadaan kami, ini justru napas kami mau dihentikan," ujar Samukrah, Ketua DPC APTI Pamekasan, dikutip dari keterangannya, Rabu 31 Mei 2023.

Iyus Ruslan, Sekjen Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSPRTMM) SPSI, juga turut berkomitmen memperjuangkan masa depan ekosistem pertembakauan yang sedang ditekan regulasi diskriminatif.

"Kalau ada regulasi yang menghancurkan sawah ladang kami, pasti kami lawan. Kami, para pekerja akan terus mengawal dan memperjuangkan mata pencaharian kami. Mengapa di negara kita, pemangku kebijakan dan pembuat regulasi ini berulang-ulang membuat keputusan yang bertentangan. Menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol berarti menyamakan kami dengan pekerja ilegal. Apakah pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan baru?" katanya.

Senada dengan Iyus, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susianto menekankan bahwa industri selalu menaati setiap regulasi pertembakauan yang diterapkan pemerintah. Namun, pada praktiknya, IHT masih terus ditekan bukan diberikan perlindungan.

"Kami terus berupaya mengawal masa depan ekosistem pertembakauan. Jangan sampai pembuat kebijakan semena-mena, tidak melihat dan mendengarkan realita di lapangan," ujar Heri.

Ganjar saat berbincang dengan petani tembakau asal Wonosobo.

Photo :
  • VIVA/Teguh Joko Sutrisno

Sementara itu, perwakilan konsumen, Lembaga Konsumen Rokok Indonesia (LeKRI) memaparkan bahwa sejak lama perokok mendapatkan stigma negatif. Tak sampai di situ saja, kini upaya kriminalisasi terhadap konsumen dilakukan melalui upaya meloloskan Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan.

"Sedari dulu konsumen merasakan ketidakadilan. Kalau mau fair, yang mengandung zat adiktif bukan hanya tembakau. Lalu mengapa hanya tembakau dan ekosistem di dalamnya, termasuk konsumen yang terus ditekan dan dikriminalisasi. Konsumen bersama seluruh elemen ekosistem pertembakauan harus menggalang kekuatan untuk melawan ketidakadilan ini," ujar Wakil Ketua LeKRI, Ali Sujoko. 

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo menilai menjaga eksistensi ekosistem pertembakauan menjadi urgensi saat ini. IHT telah menjadi motor penggerak ekonomi nasional mengingat size economy-nya yang cukup besar.

"Walaupun single comodity, tapi ekosistem ini meliputi dari hulu ke hilir yang luar biasa. Dari penerimaan CHT saja, porsinya menyumbang 11 persen setiap tahunnya. IHT berhasil menggerakkan ekonomi lainnya termasuk memiliki efek sampai pada grassroot (petani)," ujar Edy Sutopo yang turut menjadi salah satu narasumber dalam Silaturahmi Ekosistem Pertembakauan. 

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto tak memungkiri bahwa penerimaan negara cukup besar berasal dari kontribusi CHT sekitar 10-13 persen  dari porsi APBN selama lima tahun terakhir. Oleh karena itu, menurut Nirwala, alangkah bijak bila dalam setiap regulasi berkaitan dengan pertembakauan, yang dibutuhkan adalah evaluasi implementasi. Bukan dengan mengubah atau membuat regulasi baru. 

Pengamat Hukum Universitas Trisakti Ali Rido berpandangan polemik Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan jelas bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI). Mengutip pandangan MK bahwa ekosistem pertembakauan adalah entitas yang legal maka dibutuhkan perlindungan seperti perlinduangan hukum dan pemenuhan.

Operasi Gempur rokok ilegal Bea Cukai.

Photo :

"Hukum telah menegaskan bahwa ekosistem pertembakauan adalah konstitusional yang harus dilindungi. Maka, ketika muncul pasal 154 mengenai Pengamanan Zat Adiktif di RUU Kesehatan, yang membuat tembakau satu rumpun, satu golongan dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol menjadi sangat tidak logis. Bagaimana bisa mengelompokkan entitas yang legal dan tidak legal," tegas Ali Rido. 

Dari aspek materil, Ali Rido juga menuturkan bahwa rezim pengaturan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol, sesungguhnya telah memiliki rezim pengaturan sendiri, yakni UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Perpres No 74 Tahun 2013. Dengan demikian, tidak tepat jika pengaturannya turut dimasukkan dalam RUU Kesehatan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya