ADB Proyeksikan Ekonomi Kawasan Asia-Pasifik Tumbuh 4,9 persen pada 2024

Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi)
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Jakarta - Asian Development Bank (ADB) memproyeksikan perekonomian di negara berkembang Asia dan Pasifik tumbuh rata-rata 4,9 persen pada 2024. Hal ini seiring dengan pertumbuhan kawasan yang masih tetap bagus di tengah kuatnya permintaan domestik, membaiknya ekspor semikonduktor, hingga pulihnya pariwisata. 

Sri Mulyani Prediksi Ekonomi RI Kuartal I-2024 Tumbuh 5,17 Persen

Menurut Asian Development Outlook (ADO) April 2024 yang dirilis hari ini, pertumbuhan akan berlanjut dengan tingkat yang sama pada tahun depan. Sedangkan inflasi diperkirakan akan melandai pada 2024 dan 2025, setelah terdongkrak naik oleh peningkatan harga pangan di berbagai perekonomian selama dua tahun terakhir.

“Kami berpandangan bahwa pertumbuhan pada mayoritas perekonomian di kawasan Asia yang sedang berkembang akan stabil pada tahun ini dan tahun berikutnya. Keyakinan konsumen masih membaik dan investasi secara keseluruhan masih kuat. Permintaan eksternal pun tampaknya sudah berbalik positif, terutama dalam hal semikonduktor," kata Ekonom Kepala ADB, Albert Park dalam keterangan resminya Kamis, 11 April 2024.

Melemah di Level Rp 16.220 per Dolar AS, Rupiah Diproyeksi Menguat

Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi).

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Dia menjelaskan, pertumbuhan yang lebih kuat di Asia Selatan dan Asia Tenggara didorong oleh permintaan domestik dan ekspor. Hal itu mengimbangi perlambatan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) akibat kemerosotan pasar properti dan lemahnya konsumsi. 

Kenaikan Tarif Cukai Disarankan Moderat Menyesuaikan Inflasi agar Tidak Suburkan Rokok Ilegal

Lalu India diperkirakan akan tetap menjadi mesin pertumbuhan penting di Asia dan Pasifik, dengan pertumbuhan 7,0 persen pada 2024 dan 7,2 persen tahun depan. Sementara pertumbuhan RRT diperkirakan melambat menjadi 4,8 persen tahun ini dan 4,5 persen tahun depan, dari sebelumnya 5,2 persen tahun lalu.

Kendati demikian, Albert menegaskan bahwa Pemerintah harus mewaspadai sejumlah risiko. Berbagai risiko itu termasuk gangguan rantai pasokan, ketidakpastian mengenai kebijakan moneter Amerika Serikat, efek cuaca ekstrem, dan berlanjutnya pelemahan pasar properti di RRT.

Lebih lanjut, Albert mengatakan inflasi di kawasan Asia dan Pasifik yang sedang berkembang diperkirakan akan turun ke 3,2 persen tahun ini dan 3,0 persen tahun depan. Dalam hal ini seiring berkurangnya tekanan harga global dan kebijakan moneter yang masih cukup ketat di banyak perekonomian. 

Namun, di luar RRT, inflasi di kawasan ini masih lebih tinggi daripada sebelum terjadinya pandemi COVID-19. Sedangkan harga beras turut berkontribusi pada tingginya inflasi harga pangan, terutama bagi perekonomian yang bergantung pada impor. 

Harga beras pun diperkirakan akan tetap tinggi tahun ini. Penyebabnya mencakup kegagalan panen akibat cuaca buruk dan pembatasan India terhadap ekspor beras. 

Menurut Albert, kenaikan biaya pengapalan global akibat serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah dan kekeringan di Terusan Panama, kemungkinan juga dapat menambah inflasi di Asia.

"Untuk mengatasi kenaikan harga beras dan melindungi ketahanan pangan, berbagai pemerintah dapat memberikan subsidi yang ditargetkan kepada populasi rentan dan meningkatkan transparansi serta pemantauan pasar guna mencegah manipulasi harga dan penimbunan," ujarnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya