- AP Photo/Tertius Pickard
VIVAnews - Perusahaan Migas asal Thailand, PTT Exploration and Production Plc, akhir September ini akan menandatangani nota kesepahaman dengan Pemerintah Indonesia terkait ganti rugi tumpahan minyak Blok Montara, Australia, yang terjadi September 2009 lalu.
Wakil Eksekutif Presiden PTTEP Plc, Luechai Wongsirasawad menjelaskan, awalnya pendatanganan kontrak ini akan dilaksanakan pada Agustus 2011 lalu, namun karena terjadi pergantian pemerintahan di Thailand, maka diundur menjadi akhir September 2011. "Menteri energi yang baru meminta kami menunda dan menjelaskan dulu duduk permasalahan yang ada," katanya di Jakarta, Selasa 13 September 2011.
Ia menjelaskan salah satu isi kesepakatan tersebut antara lain mekanisme kesepakatan dan pembayaran kerugian. Selain itu, MoU akan mengatur pihak ketiga yang netral sebagai mekanisme verifikasi dan menghitung kompensasi berdasarkan dampak yang dapat dibuktikan.
Pada prinsipnya PTTEP siap membayar ganti rugi sesuai temuan ilmiah. PTTEP juga telah menyiapkan dana sebesar US$3 juta atau sekitar Rp26 miliar untuk program tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia. Dana sebesar itu, akan disebutkan dalam MoU, namun tidak termasuk dalam mekanisme ganti rugi tumpahan minyak Montara. Ia menyebutkan, dana sebesar itu diambil dari PTT Australia.
Hasil penelitian IPB pada Februari 2011 menyatakan tidak ada bukti tumpahan minyak dari sumur Montara sepanjang garis pantai Pulau Timor dan Rote, karena arus laut Indonesia (Indonesian Throughflow) mengalir dari timur laut ke barat daya, menjauhi pulau Timor dan Rote dan memasuki samudera Hindia.
"Adanya ITF ini mengonfirmasi bahwa mustahil minyak dari Montara mencapai garis pantai Pulau Timor, Rote, Sumba, dan Sawu karena arusnya akan membawa seluruh minyak Montara ke samudera Hindia," katanya.
Selain kajian IPB, hasil kajian LPEM UI pada April 2011 juga menyatakan berdasarkan data BPS NTT produksi perikanan provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan peningkatan signifikan selama 2009 dibandingkan 2008.
"Tumpahan minyak terjadi September 2009 sehingga seharusnya dampak produksi ikan terjadi di 2009 namun tidak terjadi penurunan," katanya.
Kedua penelitian ini, lanjut Luechai, akan menjadi verifikasi awal dari bukti-bukti yang diserahkan pemerintah Indonesia dalam gugatan. Verifikasi lanjutan akan bergantung pada persetujuan sebagaimana tercantum dalam MoU. (umi)