Wapres JK dan Pengusaha Putar Otak Demi Untungkan Bisnis EBT

Wapres Jusuf Kalla Rapat dengan Pengusaha.
Sumber :
  • Fajar G M/VIVA.co.id

VIVA – Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama dengan para pengusaha membahas sejumlah kendala yang dihadapi dalam mendorong bisnis Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi target pemerintah untuk membaurkan 23 persen EBT dalam konsumsi energi nasional pada 2025. 

PLN Dapat Komitmen Hibah dari AS untuk Studi Pengembangan Mini-Grid EBT Daerah 3T di Indonesia Timur

Pertemuan itu dihadiri Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, perwakilan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butar Butar, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Nasional (KADIN) Indonesia Bidang EBT Halim Kalla, dan Ketua Asosiasi Pengembang PLTA Riza Husni.

"Ada beberapa kendala yang kita hadapi," ujar Arcandra di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Jumat 22 Desember 2017.

Jalan Berliku Penerapan Energi Baru Terbarukan

Arcandra menyampaikan kendala awal adalah lambatnya pencapaian kesepakatan Power Purchasing Agreement (PPA) antara PLN dengan Independent Power Purchaser (IPP). Meski demikian, saat ini sudah ada juga kemajuan signifikan pencapaian PPA dari hanya belasan pada 2014 lalu, mencapai hampir 70 pada tahun ini.

"Tahun ini kita sudah tanda tangan 68 PPA, lebih dari empat kali lipat dari tahun lalu," ujar Arcandra.

Cek Fakta: Cak Imin Sebut Target Energi Baru Terbarukan 2025 Meleset dari 23 Persen Jadi 17 Persen

Tingginya Bunga Bank

Menurut Arcandra, kendala lain yang masih diupayakan penuntasannya adalah terkait masih tingginya bunga bank yang ditetapkan bagi para pengusaha EBT. Selain itu kebutuhan pengembangan smart grid supaya listrik hasil EBT menjadi tersalurkan dengan baik juga menjadi kendala agar tingkat bauran EBT semakin tinggi. 

Kendala terakhir adalah terkait kebutuhan pembebasan lahan untuk membangun pembangkit EBT."Perlu lahan besar. Apakah bisa lahannya free? Tentu tidak di sini ya. Kemungkinan besar susah. Sementara di negara lain, ada kemungkinan lahan itu bebas, free," tambahnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya