LPSK Putuskan Beri Perlindungan kepada Korban Dugaan Pelecehan Rektor Nonaktif UP
- Zendy Pradana
Jakarta – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memutuskan untuk memberikan perlindungan kepada dua orang korban dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh Rektor nonaktif Universitas Pancasila (UP) ETH.
Wakil Ketua LPSK Susilaningtias mengatakan, keputusan memberikan perlindungan itu berdasarkan pada Keputusan Sidang Mahkamah Pimpinan (SMPL) LPSK pada Senin, 25 Maret 2024. Rencananya, korban dugaan pelecehan akan mendapatkan sebuah perlindungan berupa Pemenuhan Hak Prosedural, Bantuan Psikologis, dan Fasilitas Penghitungan Restitusi.
Dalam menindaklanjuti permohonan perlindungan yang diajukan para korban pada 21 dan 27 Februari 2024, LPSK telah melakukan sejumlah langkah meliputi pendalaman informasi terkait sifat penting keterangan, berkoordinasi dengan penyidik Polda Metro Jaya, UPTD PPA Kota Depok, menganalisis tingkat ancaman dan situasi psikologis korban.
Susilaningtias mengatakan, perlindungan harus diberikan karena dinilai adanya potensi ancaman dan intimidasi yang dialami korban sehingga dapat mempengaruhi pemberian keterangan atau kesaksian dalam proses hukum. Selain itu, trauma dan kecemasan juga dialami korban.
“Salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam perkara TPKS adalah adanya penyalahgunaan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau hubungan keadaan yang memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang," ujar Susilaningtias kepada wartawan dikutip Kamis 11 April 2024.
Saat ini, lanjut dia, meski terlapor ETH sudah dinonaktifkan sebagai rektor, namun masih berpotensi memiliki relasi kuasa. Terlapor masih menjadi Ketua Pelaksana Yayasan di Universitas Pancasila dan masih banyaknya pihak-pihak berpihak kepada terlapor dan melakukan stigma negatif kepada korban di lingkungan kerjanya saat ini.
Terkait fasilitasi penghitungan restitusi, LPSK akan melakukan penghitungan setelah adanya penetapan tersangka oleh aparat penegak hukum.
"LPSK memutuskan juga memberikan layanan tambahan berupa perlindungan fisik jika dibutuhkan dan rehabilitasi psikososial berupa bantuan memperoleh pekerjaan jika di kemudian hari korban kehilangan pekerjaan akibat menjalani serangkaian proses pemeriksaan dalam peradilan pidana," ujarnya.
Sebelumnya, pihak korban dugaan pelecehan seksual blak-blakan soal sosok yang melakukan intimidasi. Dugaan intimidasi itu agar korban mencabut laporan di polisi.
Kuasa hukum korban, Amanda Manthovani mengatakan, intimidasi dialami salah satu korban berinisial RZ. Diduga RZ diintimidasi saat dipanggil oleh salah satu petinggi kampus. Hal itu terjadi sebelum terlapor dipanggil penyidik.
"Benar, korban mendapat intimidasi. Jadi, korban dipanggil petinggi kampus ya, waktu itu ETH masih aktif sebagai rektor," kata Amanda, Senin, 11 Maret 2024.