- VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVAnews - Aksi brutal para pelajar dua sekolah bergengsi, SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70, kembali menjadi tontonan publik, Senin, 24 September 2012 lalu.
Alawy Yusianto Putra (15), siswa kelas X SMAN 6 tewas setelah mengalami luka bacokan di bagian dada. Tawuran yang melibatkan dua sekolah ini bukanlah yang pertama kali terjadi.
Terkait tragedi pendidikan ini, Dinas Pendidikan DKI Jakarta akan membahas rencana penggabungan dua SMA di kawasan Bulungan yang kerap bertikai.
"Rencana merger itu diusulkan oleh Komisi X DPR dalam rapat kemarin, tapi itu masih harus dikembangkan dulu," kata Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto, di Jakarta, Kamis, 27 September 2012.
Dalam rapat yang digelar di DPR itu, Dewan juga meminta kedua sekolah untuk lebih meningkatkan pendidikan agama dan budi pekerti.
"Anggota dewan menilai sekolah seperti Madrasah Aliyah, Tsanawiyah dan Sekolah Teologi hampir tidak pernah tawuran," tuturnya.
Untuk ke depannya, kata Taufik, pembinaan intensif agama dan budi pekerti yang digelar sekolah, akan ditingkatkan. "Tentunya mereka yang ada di luar sekolah seperti masyarakat dan community based juga dilibatkan," katanya.
Selain itu, Disdik DKI juga diminta untuk menerapkan reward and punishment bagi sekolah yang sering bertikai. Ini akan melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Karena, Jakarta akan dijadikan model untuk mengatasi tawuran antar sekolah," terangnya.
Sekolah tidak akan direlokasi
Mengenai wacana relokasi sekolah yang sempat diusulkan beberapa pihak, Taufik menegaskan hal tersebut tidak bisa dilakukan. Sebab, apabila hanya satu sekolah yang direlokasi, hal ini akan memberikan kesan sekolah yang dipindahkan itulah yang bersalah.
Sementara itu, kedua sekolah tidak selayaknya dipindahkan, karena kawasan Kebayoran Baru masih berada di kawasan pemukiman. Taufik mengatakan penyerangan yang mengakibatkan siswa SMA 6 Alawy Yusianto Putra tewas, menjadi perhatian semua pihak.
"SMA 6 resah, SMA 70 juga resah dan terpukul. Apalagi, dari 1.008 siswa SMA 70, sekitar 700 siswa merupakan perempuan. Banyak siswi perempuan di SMA 70 murni karena kemampuan akademik. Karena masuk sekolah menggunakan seleksi," ujarnya.
Taufik menyayangkan bila kelompok kecil peserta didik yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan satu sekolah harus menerima sanksi dan stigma. Menurutnya, peristiwa ini terjadi karena ketahanan mental anak yang rendah. (umi)