KPK: Demokrasi Indonesia Masih Transaksional

Ketua KPK Agus Rahardjo.
Sumber :
  • ANTARA Foto/Wahyu Putro

VIVA – Sistem pemilihan langsung yang diterapkan di Indonesia sejatinya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Tapi faktanya, dalam perjalanan masih banyak kepala daerah yang melakukan korupsi dan menerima suap.

Bamsoet Nilai Sistem Demokrasi Pemilu Langsung Perlu Dikaji Ulang karena Marak Politik Uang

Para kepala daerah ini dipastikan tidak demokratis karena dengan perilaku korupnya tidak mungkin dapat membawa kesejahteraan untuk masyarakat yang dipimpinnya seperti tujuan berdemokrasi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2010 hingga 2017 terdapat sedikitnya 215 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi baik yang ditangani KPK, kepolisian, dan kejaksaan.

SBY Minta Prabowo Perbaki Sistem Pemilu: Politik Uang Makin Menjadi, Lampaui Batas Kewajaran!

KPK sendiri telah menangani 65 bupati atau wali kota dan 12 orang gubernur dalam rentang 2004-2017. Jumlah ini belum termasuk anggota DPRD tingkat I dan II. Fakta itu menunjukkan demokrasi saat ini belumlah berjalan sesuai dengan tujuan.

Ketua KPK, Agus Rahardjo, menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia dewasa ini masih bersifat prosedural, bahkan bisa dibilang transaksional. Dia menilai butuh kerja keras dari setiap elemen bangsa agar Indonesia dapat menjadi sebuah negara yang dapat menerapkan demokrasi secara esensial dan substansial.

Singgung Politik Uang Pemilu 2024, AHY: Ugal-ugalannya Luar Biasa

"Banyak yang menyebut ini adalah demokrasi prosedural dan transaksional. Esensi dan substansi demokrasinya itu sendiri belum kita dapatkan," kata Agus Rahardjo ketika berbincang dengan awak media, Kamis, 25 Januari 2018.

Agus menyebut tingginya biaya politik menjadi salah satu penyebab demokrasi di Indonesia belum beranjak ke arah demokrasi substansial. Sebab untuk menjadi bupati saja, seorang calon harus merogoh kocek hingga puluhan miliar rupiah. Jumlah ini melonjak berkali lipat jika seorang calon ingin bertarung di tingkat lebih tinggi, seperti pemilihan gubernur.

"Salah satu sebab pasti tingginya biaya politik. Bayangkan saja menjadi bupati perlu sekian puluh miliar, dan menjadi gubernur perlu sekian ratus miliar," kata Agus.

Akibatnya, menurut Agus, banyak anak bangsa yang berkompeten dan memiliki integritas untuk menjadi seorang pemimpin tak memiliki kesempatan mengikuti kontestasi politik. Ibaratnya, mereka kalah sebelum bertarung, karena tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk bersaing dengan para politikus berduit atau yang didukung dengan kekuatan finansial.

"Hari ini keadilan dalam berdemokrasi juga belum kita dapatkan. Seseorang yang sangat kompeten dan sangat berintegritas, namun tidak punya uang, akan sangat sulit menjadi pejabat publik seperti bupati, wali kota, atau gubernur. Mengingat biaya yang sangat besar tadi," kata Agus.

Tingginya biaya politik ini membuat calon kepala daerah mencari sumber-sumber pendanaan kepada pengusaha atau sektor swasta lainnya. Dengan gaji yang tak besar, kepala daerah terpilih pun akhirnya melakukan korupsi untuk mengembalikan modal biaya kampanye yang diperoleh dari sponsor.

Korupsi ini biasanya berupa mengobral perizinan atau proyek di daerah kepada para pengusaha yang telah mendukung pendanaan politik mereka atau dalam bentuk korupsi lainnya.

KPK sendiri dengan kewenangan yang dimiliki, memastikan akan menindak setiap kepala daerah korup. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambhakan, supaya mencegah hal tersebut, dia mengingatkan semua calon kepala daerah untuk tidak melakukan politik uang dalam bentuk apa pun.

"Pada seluruh calon kepala daerah, kami ingatkan agar tak praktik money politic. Apalagi jika sumber dana dari hasil korupsi atau dari pihak-pihak yang nanti harus diganti dalam bentuk proyek saat setelah menjabat," kata Febri.

Febri menjelaskan, sumbangan dana di luar mekanisme yang berlaku dapat berisiko menjadi suap dan gratifikasi. Selain itu, calon petahana seharusnya dapat lebih berhati-hati agar tak menyalahgunakan wewenang untuk mencari sumber pendanaan politik.

"Karena jika menerima sumbangan dana politik di luar mekanisme yang sudah diatur maka bisa berisiko menjadi gratifikasi atau suap. Sedangkan untuk calon incumbent agar tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki saat ini dan perlu lebih berhati-hati dengan sumbangan dana politik," kata Febri.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya