Polri: Kami Tidak Takut Terorisme

Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Irwandi Arsyad

VIVA – Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto berterima kasih kepada para tokoh lintas agama dan masyarakat serta puluhan warga yang menggelar doa bersama untuk lima anggota Polri yang gugur dalam penyanderaan di Markas Komando Brimob.

Usai Penembakan, Markas Brimob Purwokerto Dijaga Ketat

"Terima kasih pada semua yang hadir malam ini. Saya hadir karena saya tahu bahwa ini adalah spontanitas dari masyarakat untuk mendukung, mendoakan Polri. Niat yang baik ini ini semoga mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa semuanya," kata Setyo di depan Mabes Polri, Jakarta, pada Kamis malam, 10 Mei 2018.

Dengan doa dan dukungan dari masyarakat, ia memastikan Polri akan terus berupaya melakukan pemberantasan teroris. Dengan semua kekuatan yang ada. "Kami tidak takut terorisme, kami akan melawan terorisme," ujarnya.

Pasca Rusuh Mako Brimob, Densus Bekuk 138 Terduga Teroris

Setyo mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu melawan kelompok teroris dan semua upaya radikalisasi. Polri juga berterima kasih kepada masyarakat yang terus mendukungnya melawan teroris. Apalagi berbagai hashtag dukungan terus menyebar di media sosial, seperti #KamiBersamaPolri.

Radikalisme di perguruan tinggi

Warga Tak Habis Pikir Anak-anak Dipaksa Jadi 'Pengantin'

Ubaidillah Amin Moch, intelektual muda Nahdlatul Ulama, yang hadir dalam kesempatan itu, menyebut peristiwa kerusuhan dan penyanderaan di Markas Brimob adalah bukti ancaman terorisme di Indonesia sangat nyata.

"Persoalan terorisme harus diperangi bersama, semua unsur negara harus memberikan perhatian serius. Masyarakat harus sadar bahwa aksi kekerasan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan, apalagi menghilangkan nyawa manusia," katanya.

Narapidana teroris di tahanan Markas Komando Brimob, menurutnya, merupakan sebagian kecil dari para pelaku teror yang sudah tertangkap. Masih ada ancaman radikalisasi besar di luar. 

Ia meminta pemerintah tidak hanya menggunakan pendekatan hukum dalam membasmi terorisme, dengan Densus 88 Antiteror, BNPT, dan lembaga di bawah Kementerian Politik Hukum dan Keamanan. 

Menurutnya, radikalisme harus dicari akar persebarannya. Pemerintah perlu memaksimalkan peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk deradikalisasi sejak dini. 

"Sejauh ini, saya menganalisa, tempat pendidikan yang steril dari ideologi radikal adalah lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang dimiliki oleh NU, Muhamadiyah, Persis, Al Wasliyah dan ormas Islam moderat lainnya. Sedangkan benih-benih radikalisme akan sangat mudah masuk ke anak-anak muda yang ada di sekolah-sekolah umum maupun perguruan tinggi," ujarnya.

Berdasarkan data terbaru BIN, katanya, sebanyak 39 persen mahasiswa telah menjadi basis penyebaran radikalisme. Contoh lain, terduga teroris yang tertangkap di Ngawi, Jawa Timur, pada Desember 2016, merupakan seorang mahasiswa. 

Fakta-fakta itu tentu harus disikapi dengan cara menetralisasi virus-virus radikalisme yang berakibat tumbuh suburnya para teroris baru.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya