Logo ABC

20 Tahun Reformasi di Mata Pelaku Sejarah 1998

Mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR pada 21 Mei 1998. Mereka menuntut Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden.
Mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR pada 21 Mei 1998. Mereka menuntut Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden.
Sumber :
  • abc

Waktu itu saya manajer pengembangan perserikatan di LSM Solidaritas Perempuan (SP). Makanya saya intens ikut rapat yang kemudian melahirkan Suara Ibu Peduli (SIP). Saya juga salah satu dari 15 orang perempuan yang turun ke jalan melakukan aksi unjuk rasa menetang kenaikan harga susu pada 23 Februari 1998 di Bundaran Hotel Indonesia (HI) ditengah situasi yang represif dan akhirnya beberapa rekan diambil petugas dan disidangkan.

Mengapa Anda terlibat saat itu?

Gerakan Suara Ibu Peduli (SIP) mengangkat isu kenaikan harga susu itu sebetulnya strategi. Kita ingin membuat orang sadar bahwa untuk memenuhi kebutuhan bayi sekalipun [susu], negara tidak bisa menyediakan. Saya ingat, sehari setelah penembakan Trisakti, suasana jalanan mencekam, aksi bakar ban ada dimana-mana dan petugas berjaga ketat sebelum akhirnya terjadi pembakaran dan penjarahan. Saya dan beberapa teman dari SIP ada di dalam ambulans berisi makanan dan berusaha menerobos masuk ke kampus Trisakti... kaena mahasiswa Trisakti tidak bisa keluar akibat kampusnya di blockade.

aksi Suara Ibu Peduli (SIP) pada 1998 Cuplikan gambar artikel di surat kabar yang memberitakan aksi kelompok perempuan Suara Ibu Peduli (SIP) di Bundaran Hotel Indonesia pada 1998 yang menuntut pemerintah menurunkan harga susu dan sembako yang melambung tinggi ketika itu.

Situs Yayasan Jurnal Perempuan/JP

Jadi apakah Anda hanya bagikan nasi?

Rekan-rekan aktivis perempuan tidak ingin gerakan kami hanya dikenang dalam sejarah dengan aksi bagi-bagi nasi dan susu, karena itu kami juga menyuarakan tuntutan yang bersifat politis. Saya ingat, bersama rekan Nursyahbani Katkasungkana membuat rancangan tuntutan kaum perempuan. Dan gerakan perempuan, termasuk kelompok yang awal, menyerukan tuntutan adili Soeharto dan kroni-kroninya dan tuntutan itu dibacakan di DPR oleh Nursyahbani.

Bagaimana Anda melihat kondisi perempuan saat ini dibandingkan 20 tahun lalu?

Pasca reformasi yang penting dan menarik adalah semakin banyaknya gerakan perempuan di komunitas. Perempuan punya organisasi, bahkan berbicara di PBB, rekan pembantu rumah tangga membuat gerakan juga berogranisasi, petani perempuan.

Ini salah satu pencapaian reformasi yang harus dirawat.

Tapi sekarang terjadi beberapa kemunduran, misalnya muncul gerakan fundamentalisme yang memiliki mimpi politik menjadikan Indonesia ke arah yang tidak sesuai dengan semangat reformasi. Catatan Komnas perempuan menemukan ada 4021 kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan pasca reformasi.

Oslan Purba, mantan aktivis mahasiswa USU, Medan Oslan Purba Oslan Purba, mantan aktivis 98 dari FISIP USU kini aktif Kepala Departemen Pengembangan Program dan PME, Walhi Nasional.

ABC News - Iffah Nur Arifah

Apa yang anda lakukan pada tahun 1998?

Tahun 1998 saya mahasiswa semester 10 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISI) Universitas Sumatera Utara (USU). Setelah selesai menjabat sebagai ketua umum komisariat HMI FISIP USU pada pertengahan tahun 1997, saya aktif di kelompok studi Bina Independesia.

Waktu itu banyak muncul kelompok studi, karena organisasi intra dan ekstra kampus itu dipandang sebagai underbownya rektorat atau kampus dan kampus itu mengabdi pada kekuasaan.

Kelompok studi ini juga dekat dengan LSM jadi kita intens berdiskusi mengenai ideologi dan mengkritisi kebijakan Soeharto.

Mengapa memutuskan terjun dalam gerakan reformasi?

Kita di FISIP USU sejak temu ramah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pertama sudah diajarkan politik dan saya juga sering berdiskusi dengan LSM tentang kondisi negara.

Jadi sudah tertanam dalam diri saya kalau memang ada yang tidak benar dengan negara ini dan muncul dalam diri saya keinginan untuk melakukan perubahan.

Makanya ketika itu, saya dan teman-teman memang sudah siap saja. Gak tau kenapa muncul keberanian untuk demo, mau ada ancaman ditembak dan diculik, tapi kami berani aja.

Ketika itu, mahasiswa di Medan sebenarnya gak terlalu yakin juga Soeharto akan turun setelah Pemilu dan apalagi dia kemudian naik lagi jadi Presiden pada 98. Jadi aksi kami saat itu hanya berusaha mengkritisi kepemimpinannya saja.

Tapi belakangan muncul berbagai dukungan politik seperti Amien Rais, Akbar Tanjung orang Golkar yang ketika itu juga mulai berubah haluan, ada Megawati yang kepemimpinannya tidak diakui, hingga Gusdur dan NU juga mulai bergerak, jadi semakin kuatlah keinginan untuk menggulingkan Soeharto.

Semakin lama pergerakan di kampus kian menguat dan pasca munculnya forum rektor, barulah kampus-kampus full bergerak. Dan Amien Rais yang terutama rajin keliling mengorganisir dan dia juga sempat datang ke USU.

Lalu di USU juga pertama kali meledak kerusuhan. Awalnya terjadi penembakan terhadap mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa di simpang kampus Jln, Dr Mansur Medan.

Sejumlah sepeda motor dibakar dan kerusuhan ini kemudian meluas di kampus-kampus lain. Hingga terjadi peristiwa Semanggi di Jakarta dan mahasiswa merangsek ke DPR.

Di daerah, mahasiswa juga mendatangi DPRD hingga akhirnya terjadi kerusuhan penjarahan di mana-mana. Dan tidak berapa lama kemudian pada 21 Mei Soeharto menyatakan mengundurkan diri dan menunjuk Habibie sebagai penggantinya.

Amien Rais Amien Rais bersama massa aksi mahasiswa di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan pada 1998.