Logo ABC

20 Tahun Reformasi di Mata Pelaku Sejarah 1998

Mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR pada 21 Mei 1998. Mereka menuntut Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden.
Mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR pada 21 Mei 1998. Mereka menuntut Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden.
Sumber :
  • abc

Facebook: Elvi Sumanti

Apakah kondisi Indonesia saat ini sesuai dengan yang anda bayangkan 20 tahun lalu?

Indonesia saat ini sangat jauh dari impian saya tahun 1998.

Pasca reformasi, sejumlah perbaikan memang dilakukan, misalnya dibentuknya komnas HAM, terbit TAP MPR soal korupsi Soeharto dan kroni-kroninya, ada juga perbaikan tata kelola pemerintahan di pusat dan daerah, tapi semua perubahan itu tidak berlangsung lama.

Orde Baru (Orba) sebagai kekuatan lama mulai muncul lagi dan merekonstruksi ulang kekuasaanya. Walaupun memang, pelaku utamanya yakni keluarga Cendana sudah tidak mendapat ruang lagi di publik. Tommy Soeharto misalnya sekarang muncul lagi dengan parpol Berkaryanya yang baru, tapi saya memprediksi tidak akan terlalu signifikan dalam pemilu mendatang.

Seperti apa Indonesia yang anda bayangkan ketika itu?

Dulu sederhananya, saya membayangkan pertama ekonomi kerakyatan akan lebih didukung, kapitalisme dan modal asing bisa dikurangi.

Masyarakat harus mendapat ruang lebih besar dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA) alias pengelolaan SDA dikuasai pribumi. Tapi sekarang kenyataannya tidak, modal asing masih mendominasi pengelolaan SDA kita.

Kita semua pada 98 menginginkan semua pengelola negara tidak korupsi lagi, karena Soeharto dan partai politk serta kroninya itu sudah banyak sekali korupsi. Saat ini memang kita punya KPK, tapi lambat laun kita mulai menyangsikan benar tidak sih KPK tidak tebang pilih?

Kita juga dulu ingin tentara kita professional dan fokus menjaga NKRI. Begitu juga polisi fokus menjadi pengayom dan pelindung masyarakat. Tapi sekarang kita lihat, sejumlah petinggi militer malah ada yang ingin jadi Presiden, jadi gubernur dan masuk ke pos-pos di pemerintahan.

Faktanya dari 17 propinsi yang menggelar pilkada tahun ini, hampir 50% kandidatnya memiliki latar belakang mantan tantara atau polisi.

Jadi, jujur saya kecewa banget, tapi saya tetap optimistis.

Apa kiprah anda sekarang?

Saya saat ini menjabat sebagai Kepala Manager Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial di Dewan Eksekutif Nasional Walhi.  Setelah urusan politik selesai dan gerakan mahasiswa digiring kembali ke kampus, saya merasa gerakan mahasiswa sudah disingkirkan dan sudah selesaim sehingga saya memutuskan untuk pindah haluan.

Saya lalu membentuk Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Sumatera Utara. Saya mulai menyuarakan berbagai isu HAM di Sumatera dan Aceh khususnya.

Setelah pindah ke Jakarta, saya kemudian bergabung dengan Walhi. Sebuah NGO lingkungan dengan jaringan luas di berbagai wilayah di Indonesia.

Eko Maryadi, mantan jurnalis Tabloid Independen AJI Eko Maryadi Eko Maryadi, Ketua Southeast Asian Press Alliance (SEAPA), organisasi pers Asia Tenggara. 

ABC News - Iffah Nur Arifah

Apa yang anda lakukan pada tahun 1998?

Tahun 1998 Saya bekerja sebagai wartawan untuk Washington Post di Jakarta.

Saya ingat pada 21 Mei 1998, saya sedang meliput aksi mahasiswa yang menduduki DPR dan saat itu saya sedang ada di warung di bagian belakang DPR. Kebetulan di warung itu ada televisi yang sedang menyiarkan secara langsung Soeharto membacakan surat pengunduran dirinya.

Ketika itu sontak orang langsung bersorak gembira dan dari jauh saya dengar suara-suara mahasiswa di kubah DPR bersukacita merayakan kemenangan mereka.

Anda turut terlibat dalam produksi Tabloid Independen yang banyak menjadi bahan bakar bagi gerakan menggulingkan Soeharto, bagaimana bisa terlibat?

Tahun 1994 saya memutuskan untuk meninggalkan kuliah saya di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung ketika itu saya semester 6 atau 7 dan aktif di pers mahasiwa Gema Padjajaran.

Saya bertekad untuk menjadi jurnalis, makanya saya pergi ke Jakarta untuk melamar kerja di Tempo. Bulan Februari atau Maret saya diterima di Pusat Data Tempo. Di kartu pers saya tertulis CAREP atau Calon Reporter.

Ketika saya sedang senang-senangnya bekerja untuk Tempo, empat bulan kemudian Majalah Tempo di Bredel.

Di internal Tempo terbagi menjadi dua kelompok, ada yang memutuskan membuat majalah baru yang kemudian didanai oleh Bob Hasan mendirikan Majalah Gatra, tapi ada juga kelompok yang menentang pembredelan itu. Kelompok ini dimotori tokoh-tokoh senior pers ketika itu seperti Gunawan Muhammad, Eros Djarot, Aristides Katoppo.

Mereka ini yang kemudian pergi ke Wisma Tempo di Sirnagalih dan mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).