Ini yang Bikin Pembahasan RUU Terorisme Lama

Operasi penangkapan terduga teroris beberapa waktu lalu (foto ilustrasi).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Didik Suhartono

VIVA - Pembahasan revisi Undang-Undang Terorisme mencuat pasca serangkaian aksi terorisme yang terjadi belakangan ini. Polri pun mengeluhkan lamanya pembahasan RUU tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat.

UU Antiterorisme Disahkan, Polisi Tak Bisa Lagi Cari Alasan

Ketua Panitia Khusus RUU Terorisme, Muhammad Syafi'i, menjelaskan awal mula RUU Terorisme ini menjadi pembahasan. Awalnya, pada Februari 2016, usulan mengenai RUU Terorisme datang dari pemerintah.

"Kemudian pada April 2016 pemilihan dan penetapan pimpinan pansus. 27 April 2016 raker pertama pansus dengan pemerintah. Mei-Agustus RDPU. Awal Oktober 2016 sampai sekarang pembahasan," kata Syafi'i dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) tvOne, Selasa, 22 Mei 2018.

UU Terorisme Disahkan, Aparat Diminta Lebih Akuntabel

Syafi'i mengatakan, dalam pengajuan RUU Terorisme pemerintah ingin adanya penambahan kewenangan dalam penindakan pemberantasan terorisme. Untuk itu, Pansus pun berpendapat agar RUU Terorisme tidak sama dengan UU Terorisme sebelumnya.

"Hendaknya UU sedemikian rupa bisa mengantisipasi peristiwa ke depan, pencegahan dan juga pemulihan korban. Karena itu muncul pasal baru yang sama sekali tidak masuk dalam RUU yang diajukan pemerintah," katanya.

UU Antiterorisme yang Baru Lebih Detail Atur Hak Korban

Ia pun menyampaikan, Pansus ini terbangun kesepahamam antara pemerintah dan DPR. Karena itu ketika muncul klausa baru yang belum diajukan pemerintah ke DPR, pemerintah butuh waktu untuk menyusun redaksional dari klausul yang baru.

"Jadi kalau pemerintah meminta lebih dari 15 kali penundaan. Kami tidak menganggap itu melalaikan pembahasan tetapi karena harus memiliki waktu untuk mengkonsolidasi internal pemerintah menyusun redaksional dari klausa yang baru," ujarnya.

Personel Brimob bersiaga saat dilakukannya penggeledahan oleh Tim Densus 88 di kediaman terduga pelaku bom bunuh diri Polrestabes Surabaya

Setelah redaksional itu selesai dan dipresentasikan ke Pansus, ada argumentasi antara pemerintah dan DPR. Hal itu yang menyebabkan pembahasan RUU Terorisme ini menjadi lama.

Dalam konstruksi yang diberikan pemerintah, RUU lebih kepada penindakan belaka. Kemudian pembahasan berkembang kepada pencegahan.

"Pencegahan ini mulai dari kesiapsiagaan nasional kemudian kontra radikalisasi kemudian ada deradikalisasi. Kemudian ada penindakan. Penindakan diajukan pemerintah masuk semua. Tapi ditambah lagi hal-hal yang belum terpikirkan oleh pemerintah sehingga penindakannya lebih lengkap untuk menjerat sekecil mungkin lolosnya gerakan-gerakan terorisme," katanya.

Dalam pembahasan, disepakati juga adanya pembentukan lembaga pengawas kepada BNPT dan Densus 88 Anti-Teror Polri. Nantinya, anggota Komisi I dan Komisi III akan ikut untuk menginvestigasi setiap kejadian.

Kemudian mengenai penyadapan, yang awalnya pemerintah tidak perlu izin dan cukup bertanggung jawab pada atasan, maka dalam RUU Terorisme dijelaskan penyadapan harus mendapatkan izin dari pengadilan. "Dalam keadaan terpaksa bisa dilakukan penyadapan dulu tapi selanjutnya minta izin," katanya.

Pembahasan lainnya mengenai pemulihan korban. Dalam UU Terorisme sebelumnya perhatian pemerintah terhadap korban aksi terorisme sangat minim. Dalam RUU Terorisme ini dimasukan bab baru bagaimana korban terorisme disebut tanggung jawab pemerintah baik langsung maupun tak langsung.

"Kalau dulu cuma ada kompensasi. Di UU sekarang diatur pemulihan medis, pemulihan psikososial, pemulihan psikologi, dan kompensasi. Lebih menarik UU ini dipandang UU kejahatan serius maka dibenarkan untuk korban-korban yang sudah mengalami peristiwa terorisme masa lampau yang belum dapat pelayanan mereka berhak dapat pelayanan dari pemerintah," ujarnya.

Pelaku penyerangan aksi terorisme di Mapolda Riau

Ia pun menjelaskan, Pansus juga ingin adanya penguatan di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Nantinya BNPT diharapkan menjadi pusat analisa data tentang perkembangan terorisme di Indonesia. "Kemudian bisa menjadi pusat krisis center sehingga Presiden akan melakukan apa dan skala gimana akan menggunakan data yang dikeluarkan BNPT," katanya.

Semua pembahasan tersebut, lanjut Syafi'i, sudah disetujui oleh pihak pemerintah dan DPR. Namun, salah satu pembahasan yang masih alot mengenai definisi terorisme. Saat pemerintah mempresentasikan ke DPR isi definisi mengenai tujuan politik dan mengancam keamanan negara hilang.

"Lalu kita bertanya apa yang membedakan kriminal biasa dengan kriminal teroris? Saya kasih contoh ada orang yang berlabel teroris dan melakukan kejahatan pidana tidak bayar utang saya kira itu bukan teroris. Itu pidana. Lalu ada anak di Amerika kesal di sekolahnya dia kesel dan menembakkan senjata mati 10 orang itu bukan teroris. Lalu mana pembedanya? Dia tidak punya motif dan karena kesel saja," katanya.

Untuk itu, Pansus pun meminta pemerintah menjelaskan secara spesifik mengenai perbedaan kriminal biasa dengan tindak pidana terorisme.

Ia pun menuturkan, dalam pembahasan RUU Terorisme melibatkan mantan narapidana terorisme (napiter). Dalam pembahasan, para napiter tersebut menjelaskan adanya perbedaan ideologi dalam setiap aksinya. Untuk itu, ia meyakini definisi dalam RUU Terorisme ini menjadi penting.

"Kalau kita pakai rumusan ini semuanya sepakat ada ancaman terhadap keamanan negara dan ada tujuan politik. Kita baca pergerakan teroris di dunia gerakan teroris mana yang tidak ada tujuan politik," ujarnya. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya