Mahfud MD Ungkap Praktik Korupsi Politik di Indonesia

Mahfud MD
Sumber :
  • VIVA/Andri Mardiansyah

VIVA – Pakar Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, menjelaskan tentang praktik korupsi politik di depan ribuan mahasiswa Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, Selasa, 25 September 2018.

Marhan Harahap Dihadang Hingga Meninggal, Jokowi Minta Aparat Keamanan Bertindak Humanis

Mahfud MD bersama dengan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, dan Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, diundang sebagai narasumber diskusi publik dalam konteks kajian Korupsi Politik oleh Pusat Kajian Gerakan Bersama Antikorupsi Universitas Negeri Padang (PK-Gebrak-UNP).

Ketiganya mengupas tuntas tentang praktik korupsi politik ditinjau dari sisi filosofis, amatan terkini, strategi pencegahan dan edukasi.

Resmi Jadi WNI, Thom Haye dan Ragnar Oratmangoen Tak Bisa Perkuat Timnas Indonesia Vs Vietnam

Menurut Mahfud, dalam khazanah hukum di Indonesia, korupsi politik itu dalam undang-undang tidak ada. Korupsi ya korupsi. Namun, korupsi sendiri punya dua arti yakni, korupsi non konvensional, yang mana merupakan setiap tindakan menyimpang, menyalahgunakan kekuasaan menikmati jabatan sendiri. 

“Misalnya berlaku sewenang-wenang di kantor terhadap anak buah. Itu korupsi nonkonvensional. Ada pejabat penting dari Jakarta datang ke daerah, begitu tahu yang jemput hanya Sekda, dia tak jadi ke daerah. Itu sikap arogan yang korupsi nonkonvensional,” kata Mahfud.

Investasi Dunia Menunggu, Anggota DPR Sarankan Pemerintah Segera Proklamasi Ibu Kota Pindah

Lalu juga ada korupsi konvensional, yang menurut hukum itu mencuri uang negara dengan unsur tertentu atau melakukan tindak korupsi yang unsurnya memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi. Dengan cara melawan hukum, melawan peraturan perundangan dan merugikan keuangan negara. 

“Kalau sekarang ramai disebut, misalnya Golkar akan terkena tindak pidana korporasi, itu ada loh. KPK sedang dalami itu, entah itu bagaimana namun indikasi ke arah itu sudah ada,” ujar Mahfud.

Mahfud menegaskan, korupsi politik itu tidak ada dalam hukum. Namun sejak tahun 2015 dalam hukum kita dikenal istilah korupsi politik, itu terjadi ketika MA membuat putusan 1261-pidsus-2015 yang vonis Anas Urbaningrum telah melakukan korupsi politik. 

“Justru sekarang yang banyak dan berbahaya itu korupsi politik. Dalam terminologi hukum memang tidak ada, namun putusan MA yang sudah inkracht menyebut dua kasus yakni, kasus korupsi politik Anas Urbaningrum dan Rina yang dari Karangayar,” ujar Mahfud.

Nah dengan demikian, Mahfud berpendapat, korupsi politik itu adalah yang dilakukan dengan menggunakan jabatan politik. Dilakukan oleh yang memiliki pengaruh kepada orang lain yang sifatnya koruptif. Seperti, ketua partai yang menyuruh anggota DPR-nya untuk kumpulkan dana. 

Kedua, untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau partai. Ini masuk korupsi politik. Cuma pengadilan atau KPK yang belum menuntut sebuah korporasi melakukan korupsi dan sekarang menyebut satu partai. 

“Saya tidak tahu apakah partainya dibubarkan atau apa, kita belum tahu. Kalau menurut hukum konstitusi, pembubaran partai melalui MK. Namun bagaimana sebuah partai melakukan korupsi dan diadili di pengadilan pidana,” kata Mahfud. 

Kemudian, menurut Mahfud, korupsi politik itu juga dilakukan oleh mereka untuk mengendalikan sesuatu. “Anggaran misalnya, yang saya baca, menggunakan kekuasaan untuk pengaruhi pejabat lain dengan APBN atau APBD yang melanggar hukum. Jadi ada pimpinan partai atau anggota DPR untuk mengolah anggaran tadi.”

Intinya, kata Mahfud, korupsi politik itu dilakukan karena jabatan tertentu yang bisa memengaruhi orang lain. Apakah korupsi politik ini hanya menyasar anggaran negara (APBN/APBD).

Kalau menggunakan keuangan negara, korupsi ini unsurnya perkaya diri sendiri atau korporasi dengan cara melanggar hukum dan merugikan keuangan negara. Namun ada korupsi yang tidak ada hubungannya dengan keuangan negara namun hukumannya berat. Apa itu, suap. Banyak contohnya di Sukamiskin. 

“Kalau korupsi politik ini dampaknya luar biasa. Kalau menggunakan jabatan, akan berantai dan saling sandera. Ini yang ke depan harus diperhatikan,” kata Mahfud. 

Mahfud menilai korupsi politik itu terjadi di berbagai lini. Tidak hanya oleh partai politik, namun pimpinan lembaga politik. Trias politica: legislatif (kaitannya dengan pimpinan partai), eksekutif juga kaitannya dengan politik, hakim juga poros politik (yudikatif). Kita punya panca as politica, ditambah auditif, konsultatif.

“Kalau sekarang sudah menjadi hasta as politica, tujuh poros,” kata Mahfud. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya