BIN Sebut 41 Masjid di Lingkungan Pemerintahan Terpapar Radikalisme

Potensi radikalisme di lima provinsi di Indonesia hasil survei BNPT, The Nusa Institute, dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme/Ilustrasi.
Sumber :
  • VIVA.co.id/BNPT

VIVA – Badan Intelijen Negara mengungkap, ada 41 dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga, serta Badan Usaha Milik Negara yang terindikasi terpapar radikalisme. Masjid itu dibagi dalam tiga klasifikasi level, rendah, sedang, dan tinggi. 

Mantan Teroris Poso Dukung Penuntasan Masalah Terorisme di Sulawesi Tengah

"Yaitu, 11 masjid kementerian, 11 lembaga, dan 21 masjid BUMN," ujar Staf Khusus Kepala BIN, Arief Tugiman, dalam diskusi Peran Ormas Islam dalam NKRI di Kantor Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), di Kramat, Jakarta Pusat, Sabtu 17 November 2018.

Arief mengatakan, terdapat tiga kategori tingkat paparan radikalisme dari 41 masjid tersebut. Pada kategori rendah ada tujuh masjid, 17 masjid masuk kategori sedang, dan 17 masjid masuk kategori tinggi.

Lebaran Aman dari Gangguan Terorisme, Komisi III DPR Apresiasi BNPT

Selain itu, Arief menjelaskan secara keseluruhan dari hasil pendataan BIN, ada sekitar 500 masjid di seluruh Indonesia yang terindikasi terpapar paham radikal.

"Dai-dai kita mohon bisa diberdayakan, untuk bisa memberikan dakwah yang menyejukkan, sekaligus mengkonter paham-paham radikal yang sekarang beredar," ujarnya.

Pakar Dukung BNPT Tangkal Konten Radikalisme: Butuh Keterlibatan Banyak Pihak

Direktur Sosial Budaya Baintelkam Polri, Brigadir Jenderal Merdisyah menambahkan, masyarakat dan para kiai, serta ulama harus mewaspadai masjid-masjid yang didominasi kelompok yang terpapar radikalisme.

Sebab, masjid itu juga sudah ada lingkungan terdekat baik perumahan dan perkantoran.  "Ada di Bintaro Sektor 9, pengurusnya itu bukan orang situ, tapi orang lain dengan pemahaman yang kami sampaikan," kata Merdisyah.  

"Begitu ada warga yang mau masuk mau adakan maulid, kata pengurus masjid tidak boleh, karena dianggap bertentangan," lanjutnya.

Untuk itu, Kepolisian berharap, agar peran ulama lebih ditingkatkan, karena kedok yang digunakan adalah gerakan Aswaja. "Mereka pintar, pakai undercover-nya sebagai Gerakan Aswaja. Makanya, Pak Kiai ini jadi concern kita agar peran ulama ditingkatkan," katanya.

Degradasi ideologi

Di samping persoalan masjid, BIN juga menyoroti degradasi ideologi yang tengah terjadi. Persoalan utamanya, kata Arief, adalah meningkatnya konflik sosial berupa agama dan SARA, serta konten provokatif yang beredar di media massa.

Meluasnya paham radikalisme tak hanya terjadi di masjid. Berdasarkan hasil penelitian BIN dengan salah satu Universitas Islam di Jakarta terhadap guru agama di madrasah mulai tingkat SD sampai SMA, Arief mengatakan, sebanyak 63,70 persen memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. 

"62,22 persen setuju hanya sistem pemerintahan berbasis syariat Islam yang terbaik untuk Indonesia. Ini guru agama," katanya. 

Sementara itu, sebanyak 75,98 persen setuju pemerintah harus memberlakukan syariat Islam, lalu 79,72 persen setuju umat Islam wajib memilih pemimpin yang memperjuangkan syariat Islam.

Dari riset itu, lanjutnya, juga menunjukkan sebanyak 23,42 setuju pemerintah Indonesia hari ini adalah thagut. Kemudian, 64,23 persen setuju nonmuslim tidak boleh menjadi presiden. 

"Kalau berdasarkan konstitusi negara tidak seperti itu, karena dasarnya jelas," ujar Arief.

Arief mengatakan riset itu pun menemukan tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang terindikasi terpapar radikalisme. Ada pula sebanyak 39 persen di 15 provinsi tertarik dengan paham radikal. Di antaranya, di Provinsi Jawa Barat, Lampung, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya