Ngeri, Efek Fatal Larangan Mudik dan Pemerintah Tak Penuhi Hak Rakyat

Larangan Mudik Lebaran 2020
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Fauzan

VIVA – Kebijakan larangan mudik dari pemerintah terus menuai kritik, meski tujuannya untuk memutus rantai penyebaran Virus Corona COVID-19.

6 Fakta TKW yang Dikira Meninggal di Suriah, Kembali ke Kampung Halaman Setelah Hilang 22 Tahun

Hingga detik ini, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai tidak efektif. Buktinya dalam pelaksanaan di lapangan masih banyak masyarakat yang tidak menaati aturan tersebut.

Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, seyogyanya pemerintah melakukan karantina wilayah, bukan mengakali aturan lewat PSBB. Secara substansi apa yang dilakukan pemerintah lewat PSBB sudah termaktub dalam aturan karantina wilayah, rujukannya adalah UU Nomor 6 Tahun 2018 terkait kekarantinaan kesehatan.

PEVS 2024 Resmi Berakhir, Transaksi Diklaim Hampir Rp400 Miliar

Refly menjelaskan, dalam undang-undang tersebut sudah diatur soal karantina wilayah. Hanya saja, pemerintah tidak menerapkan undang-undang tersebut dalam kondisi saat ini. 

UU Nomor 6 tahun 2018 itu, pada pasal 6 mengatur, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Sementara itu, pasal 8 menyebutkan, setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina.

Gunung Ruang Sitaro Erupsi, Wapres Imbau Patuhi Petunjuk Mitigasi Bencana Pemerintah

"Jadi pemerintah punya tanggung jawab menyiapkan kebutuhan pokok, baik bagi orang yang kaya atau miskin.  Tapi rupanya pemerintah tidak menggunakan strategi ini. Mungkin saja biayanya begitu besar, karena itu dipilih PSBB," ujar Refly dikutip dari akun YouTubenya, Minggu 3 Mei 2020.

Efek Fatal Larangan Mudik

Refly kemudian menjelaskan efek fatal dari larangan mudik yang diputuskan pemerintah. Persoalannya bukan sekadar memutus rantai penyebaran COVID-19, namun hajat hidup orang banyak dipetaruhkan jika tetap bertahan di kota dengan kondisi seperti saat ini.

"Saya membaca cerita seseorang di internet, seseorang lolos pulang ke daerah sebelum aturan larangan mudik itu dikeluarkan. Karena dia berpikir, kalau tetap di Jakarta misalnya, bisa mati pelan-pelan, tidak ada lagi pekerjaan di sini, dia kos di sini, dia harus bayar, harus makan juga. Kalau di kampung bisa berkumpul dengan keluarga, ada rumah di sana," paparnya.
 
"Satu sisi saya dukung upaya pemerintah lockdown melarang pulang kampung, tapi pemerintah harus bertanggung-jawab memastikan semua orang makan jika dilarang," tambahnya.

Refly mengingatkan, pemerintah tak cukup hanya memberikan bantuan langsung tunai (BLT), memberikan subsidi pemotongan bayar listrik. Harus ada tanggung jawab lebih untuk memikirkan seluruh rakyat Indonesia.

"Bukan hanya sekadar bantuan BLT, pemotongan biaya listrik, tapi ini yang diperintahkan UU yang dipakai pemerintah untuk melarang mudik. Jangan lupa UU karantina kesehatan itu disahkan 2018, itu baru dua tahun, artinya masa pemerintahan Pak Jokowi. Harus ada tanggungjawab, kalau pemerintah tidak mampu, dicarikan solusi apakah dengan cara pemotongan gaji pejabat atau lainnya. Kita berharap bisa disegera selesai, jangan sampai masyarakat meninggal karena faktor lain secara psikologis bukan karena COVID-19," tegasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya