Pemerintah Dinilai Masih Setengah Hati Tangani Kasus Intoleransi 

Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fajar GM

VIVA – Pemerintah dinilai kerap memisahkan model penanganan bagi problem intoleransi dan radikalisme di tanah air. Akibatnya apa yang dilakukan pemerintah lebih dilihat sebagai penanganan setengah hati.

Angkat Isu Keberagaman Agama, Film Ahmadiyah's Dilemma dan Puan Hayati Curi Perhatian

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menilai, hal itu dikarenakan ada perbedaan pendapat di antara sejumlah pihak yang selama ini bekerja mempromosikan kebebasan beragama, dengan kalangan peneliti masalah sosial di tingkat universitas.

"Selama ini mereka melihat bahwa intoleransi dan radikalisme itu tidak bisa dipisahkan. Meskipun memang kemudian mereka yang menjadi pelaku intoleransi tidak kemudian meningkat menjadi pelaku radikalisme," kata Tigor di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu 24 November 2019.

Kiai di Subang dan Indramayu Yakin Ganjar-Mahfud Bisa Berantas Radikalisme dan Intoleransi

"Tapi memecahkan dua masalah ini menjadi penting karena sumbernya sama," ujarnya menambahkan.

Tigor menjelaskan, selama ini pemerintah kerap melihat bahwa kasus-kasus terkait masalah kebebasan beragama yang terjadi di Tanah Air, hanya bersifat lokal, kasuistik, non-permanent pattern, dan dianggap bukan sebuah pola yang sistematis serta terulang.

Dialog Lintas Iman Tokoh Agama Digelar Berani, Untuk Perkuat Toleransi

Pemerintah hanya beranggapan bahwa kasus intoleransi selama ini yang hanya bersifat random, sporadis, dan disebabkan karena faktor tambahan lain, seperti misalnya soal ketersinggungan, perbedaan kebudayaan, atau kesalahpahaman.

"Jadi menurut pemerintah penyebabnya bukan semata-mata paham keagamaan yang literal, kaku, dan keras. Tapi juga ada faktor-faktor lain tersebut," kata Tigor.

Karenanya, Tigor melihat pemerintah lebih menganggap bahwa penyelesaian masalah intoleransi itu akan selesai hanya dengan cara dialog, melalui peran serta tokoh-tokoh agama terkait.

"Karena itulah pemerintah kemudian membentuk Forum Komunikasi Umat Beragama, dengan harapan bahwa FKUB ini akan aktif sebagai fasilitator dan mediator," ujar Tigor.

Namun, lanjut Tigor, di pihak lain Setara Institute juga melihat bahwa pemerintah masih terkesan setengah hati dalam mendukung kinerja FKUB tersebut, terutama dalam aspek dukungannya di tataran pemerintah daerah.

"Karena tadi kita lihat ada beberapa kelemahan, di mana pertama adalah pemerintah daerah merasa bahwa masalah intoleransi ini bukan lah sebuah isu prioritas," kata Tigor

"Dan kedua, hal itulah yang membuat mereka beranggapan jika FKUB ini tidak perlu didukung, sehingga terciptalah perbedaan sudut pandang antara pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk support kepada FKUB itu sendiri," ujarnya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya