Alasan HNSI Jatim Dukung Ekspor Benih Lobster

Ilustrasi Benih lobster.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

VIVA – Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo diminta tidak ragu mencabut sejumlah kebijakan menteri sebelumnya Susi Pujiastuti yang dinilai tidak tepat dan justru menyengsarakan nelayan Tanah Air.

SYL Suka Belanja Baju di Mal Bareng Keluarga, Uangnya Reimburse Hasil Palak Pejabat Kementan

Hal itu disampaikan Bambang Haryo Seokartono, Dewan Penasihat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Timur, dalam keterangan tertulis, Jumat, 20 Desember 2019. Menurut Bambang, salah satu kebijakan keliru dari mantan Menteri Susi adalah pelarangan penangkapan benur lobster melalui Permen KP No. 56 Tahun 2016.

"Larangan penangkapan benur lobster ini mengakibatkan ribuan nelayan kehilangan mata pencarian dan negara kehilangan potensi ekonomi, termasuk dari ekspor, hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun," ujar Bambang.

Terbongkar! SYL dan Istri Beli Dua Tas Mewah Dior Senilai Rp 105 Juta Pakai Uang Kementan

Pelarangan itu, menurut Bambang, justru memicu penyelundupan benur lobster, sehingga merugikan negara. Di sisi lain, nelayan kehilangan mata pencarian dari penangkapan benur dan budidaya lobster.

Bambang mengatakan Indonesia merupakan sumber lobster terbesar di dunia. Meskipun biota laut bernilai tinggi ini sebenarnya endemik dari Pulau Christmas, Australia. Potensi benur lobster Indonesia diperkirakan mencapai 2-3 miliar per tahun, bahkan di Lombok Tengah saja potensinya mencapai 300 juta ekor per tahun.

Zulhas Sebut Eko Patrio Pantas Menteri, Gerindra: Kami Senang-senang Saja

Data KKP mengungkapkan, terdapat 20 lokasi potensial sumber lobster di seluruh Indonesia. "Begitu melimpah benur lobster, nelayan kita bisa memanen selama 10 bulan sepanjang tahun," kata Bambang. 

Sebagai perbandingan, lanjut Bambang, potensi benur lobster di Vietnam hanya sekitar 2-3 juta ekor per tahun, dan nelayan hanya bisa memanen 1-2 bulan saja. Anehnya, sejak pelarangan, ekspor lobster Vietnam justru melonjak, padahal negara itu sangat bergantung dari impor benur Indonesia.

Dan, menurut Bambang, potensi ekonomi benur lobster di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun apabila per ekornya dihargai sekitar Rp50 ribu. "Kalau benur ini dibudidayakan hingga ukuran 500 gram, harganya bisa mencapai Rp500 ribu, sehingga potensi ekonominya jauh lebih besar lagi,” ujar Bambang.

Oleh karena itu, ditegaskan Bambang, benur lobster justru harus segera ditangkap oleh nelayan. Sebab jika tidak, benur akan habis dimakan oleh predatornya, seperti ikan kakap, kerapu, dan ikan karang. Bambang menjelaskan, berdasarkan penelitian Prof Dr Clive Jones, peluang hidup benur lobster hanya 0,01 persen atau hanya 1 dari 10.000 lobster yang mampu bertahan hidup di alam liar.

Ironisnya, kata Bambang, saat menjabat Menteri KKP, Susi justru melarang penangkapan benur lobster, dan membolehkan penangkapan lobster ukuran besar. Padahal, menurutnya, lobster ukuran besar merupakan potensi indukan dan pejantan. 

"Lobster ukuran itu sudah mampu menyesuaikan diri dengan habitat di perairan Indonesia, seharusnya tidak ditangkap agar bisa berkembang biak secara alami," ujarnya.

Karena itu, anggota Komisi V DPR RI periode 2014-2019 ini menilai Permen KP No. 56/2016 tentang Larangan Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan, merupakan kebijakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab pelarangan tiga komoditas yang berbeda menggunakan aturan teknis yang sama, ini merugikan komoditas selain lobster karena batasan teknisnya berbeda.

Edhy diikritik Susi

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akan membuka kembali ekspor benih lobster Indonesia ke luar negeri dengan alasan makin maraknya penyelundupan benih lobster.

Edhy berencana merevisi peraturan yang diteken pada era Menteri Susi Pudjiastuti yaitu Peraturan Menteri Nomor 56 tahun 2016 tentang laporan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting dan Rajungan dari Indonesia. 

Edhy menyebutkan, penyelundupan benih lobster untuk diekspor marak terjadi sehingga dikhawatirkan akan mengganggu ekosistem lobster di alam. Padahal di sisi lain, banyak nelayan kecil yang menggantungkan hidup dari perdagangan benih lobster ini.

"Jika dibiarkan, nyatanya penyelundupan akan tetap berjalan. Makanya kita buka saja sehingga penyelundupan di Indonesia tidak punya nilai lagi. Daripada dijual melalui perantara, kenapa tidak langsung ke negara penerima," kata Edhy kepada wartawan akhir pekan lalu. 

Kebijakan Edhy pun langsung menuai kritik keras dari pendahulunya, Susi Pudjiastuti. Susi menyatakan kurang setuju terkait rencana ekspor benih lobster. Dalam beberapa cuitannya di Twitter, Susi menyebutkan betapa tingginya harga lobster dewasa dibandingkan dengan menjual bibit lobster.

"Lobster di foto ini: lobster mutiara, berat kira-kira 1,2 kg sd 1,4 kg harga per kg nya saat  ini min Rp5 jt. Bibitnya diambil dr laut diekspor ke Vietnam per ekor cuma Rp 139.000. Bener kita harus ekspor bibitnya? Apa tidak lebih baik tunggu besar&jual dg harga lebih dr 30xnya?" tulis Susi di akun Twitter pribadinya.

Susi juga menuliskan soal ongkos atau biaya yang diperlukan dalam praktik penyelundupan bayi lobster. Susi menyebut sekali ekspor biaya yang diperlukan hingga seratus juta rupiah.

"Update ongkos pemilik bagasi atau koperman penyelundupan baby lobster. Rate: Jambi @85 juta rupiah per koper, Jakarta @115 juta rupiah per koper, Surabaya @100 juta rupiah per koper. Nah tahukan sekarang! Ongkos kirim saja dapat satu sampai dua Brompton," cuitnya. 

Pemilik maskapai Susi Air itu menegaskan tugas manusia adalah melestarikan sumber daya laut perikanan agar ikan, udang dan lobster di laut semakin banyak dan produktif.

"Kalau bibit ini tetap di laut maka nilai ekonominya akan lebih dari minimal sepuluh kalinya. Sayang ya! Kok kita tidak bisa jaga plasma nutfah lobster. Negara wajib melindungi plasma nutfah untuk keberlanjutannya," kata Susi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya