Koalisi Masyarakat Sipil Beberkan Alasan Jokowi Harus Copot Yasonna

Koalisi Masyarakat Sipil laporkan Menkum HAM Yasonna Laoly ke KPK.
Sumber :
  • VIVAnews/ Edwin Firdaus.

VIVA – Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendesak Presiden Joko Widodo segera mencopot Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly lantaran diduga merintangi proses hukum atau obstruction of justice soal keberadaan tersangka suap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Buka Musrenbangnas 2024, Jokowi Ingatkan Pemerintah Daerah Harus Seirama dengan Pusat

"Presiden Joko Widodo segera mencopot Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM," kata anggota Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, Kurnia Ramadana di Jakarta, Kamis, 30 Januari 2020.

Pada pertengahan Januari lalu Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi resmi melaporkan Menkumham Yasonna ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dugaan melakukan obstruction of justice.

Bikin Kaget, Jokowi Tiba-tiba Hampiri Wartawan dari Belakang

"Untuk itu jika laporan ini terbukti maka Yasonna berpotensi dijerat pidana 12 tahun penjara," kata dia.

Kasus ini bermula ketika pada tanggal 8 Januari 2020 KPK melakukan tangkap tangan terhadap Wahyu Setiawan Komisioner KPU atas dugaan kasus suap pergantian antar waktu anggota DPR RI.

Resmikan Pendidikan Dokter Spesialis, Jokowi: Banyak Keluhan dari Daerah

KPK telah menetapkan empat orang tersangka, salah satunya Harun Masiku, calon anggota legislatif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemberi suap. Namun KPK tidak menemukan Harun saat OTT, sebab menurut pengakuan dari Yasonna dan jajaran imigrasi, Harun sejak 6 Januari 2020 telah meninggalkan Indonesia.

Namun, temuan media menyebutkan bahwa pada 7 Januari 2020 sebenarnya Harun sudah kembali ke Indonesia. Akan tetapi pada 16 Januari 2020, Yasonna Laoly membantah temuan media dan bersikukuh menyebut Harun Masiku masih berada di luar negeri.

Sampai akhirnya imigrasi meralat pernyataan dari Yasonna dan mengkonfirmasi temuan media jika Harun pada 7 Januari 2020 memang sudah berada di Indonesia.

Kurnia mengatakan distorsi informasi yang disampaikan Yasonna akan memperlambat proses hukum yang sedang berjalan di KPK. Padahal per 9 Januari 2020 KPK sudah meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan.

"Otomatis konsekuensi dari kenaikan status penanganan perkara tersebut adalah pihak-pihak yang diduga punya keterlibatan mesti kooperatif terhadap proses hukum," ujarnya.

Kurnia menilai Yasonna sebagai Menkumham tentu mempunyai andil dalam mempercepat proses penemuan Harun Masiku. Namun faktanya yang bersangkutan diduga menghambat proses hukum yang sedang berjalan dengan berkata tidak benar.

KPK bukan kali pertama menjerat pihak-pihak yang merintangi penyidikan dengan Pasal 21 UU Tipikor. Sebelumnya yakni Fredrich Yunadi selaku Pengacara Setya Novanto.

Tak hanya Fredrich, Lucas, pengacara Eddy Sindoro pun pernah dikenakan aturan tersebut karena diduga membantu pelarian dari kliennya saat kasus masuk pada tingkat penyidikan. Harusnya dengan potret kasus yang pernah ditangani KPK tidak lagi ragu untuk menjerat Yasonna Laoly.

Tak hanya itu, menurut Kurnia, kehadiran Yasonna di konferensi pers Tim Hukum PDIP layak untuk dikritisi. Dugaan konflik kepentingan pun menguat saat yang bersangkutan ikut kegiatan tersebut.

"Mestinya Yasonna Laoly dapat menghindari kegiatan-kegiatan yang bersifat kepartaian, apalagi konferensi pers tersebut menyorot pada proses hukum yang sedang berjalan di KPK," kata Kurnia yang juga peneliti ICW.

Kurnia melanjutkan, TAP MPR No VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyebut setiap penyelenggara negara harus mundur jika melakukan kesalahan yang berimplikasi buruk bagi masyarakat.

"Dengan kekeliruan yang telah dilakukan oleh Yasonna maka akan lebih baik jika yang bersangkutan dapat mengundurkan diri sebagai Menkumham," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya