Polri Bantah Tudingan Adanya Krisis Kemanusiaan di Papua

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

VIVA – Polri membantah adanya kekerasan yang dilakukan oleh personelnya selama bertugas di Papua. Hal ini ditegaskan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono. 

Saat Ganjar Pranowo Akui Prabowo Tegas tapi Tidak Untuk Jawaban soal Pelanggaran HAM

Pernyataan Argo itu menanggapi tuduhan aktivis Veronica Koman bahwa terjadi krisis kemanusiaan di Papua. Menurut Argo, kehadiran personel di Papua justru untuk memberikan pelayanan dan rasa aman.

"Kami tugasnya kan untuk memberikan pelayanan dan rasa aman, memberikan kualitas masyarakat lebih baik," kata Argo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 11 Februari 2020.

Korban Tewas Kerusuhan di Wamena Bertambah 10 Orang, Belasan Aparat Kena Busur Panah

Argo bahkan menyebut institusinya tak akan menarik personel dari Papua. Apalagi, akan ada Pilkada 2020 pada September, dan Pekan Olahraga Nasional (PON) pada November.

"Enggak mungkinlah kami dalam suatu daerah itu akan ditarik kepolisian yang berjaga di situ," ucap Argo.

Belasan Pengikut Lukas Enembe yang Terlibat Kericuhan Dilepas Polisi

Sebelumnya, sejumlah aktivis menyerahkan data tahanan politik, dan korban tewas Papua kepada Presiden Joko Widodo yang tengah berkunjung ke Canberra, Australia. Data itu diserahkan pada 10 Februari 2020.

Salah satu aktivis dan pengacara HAM, Veronica Koman, mengatakan pihaknya juga mendesak agar krisis politik dan kemanusiaan di Papua segera dihentikan.

Untuk itu, dia meminta pemerintah Australia membahas pelanggaran HAM di Papua dengan Presiden Jokowi dalam pertemuan bilateral yang akan digelar pekan ini.

“Tim kami di Canberra telah berhasil menyerahkan dokumen-dokumen ini langsung kepada Presiden Jokowi. Dokumen ini memuat nama dan lokasi 57 tahanan politik Papua yang dikenakan pasal makar, yang saat ini sedang ditahan di tujuh kota di Indonesia," kata Veronica melalui siaran persnya.

"Kami juga menyerahkan nama beserta umur dari 243 korban sipil yang telah meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018, baik karena terbunuh oleh aparat keamanan maupun karena sakit dan kelaparan dalam pengungsian,” ujar Veronica.

Selain itu, Veronica menyebut sejumlah gubernur, bupati, pimpinan gereja, pimpinan adat, akademisi, aktivis dan mahasiswa telah memohon kepada Presiden Jokowi untuk menarik pasukan dari Nduga sejak Desember 2018. Namun, permintaan itu tidak pernah diindahkan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya