Setiap Tahun, 100 Ribu Hektare Lahan Pertanian Berubah Fungsi

Ilustrasi lahan pertanian.
Sumber :

VIVA – Anggota Komisi IV DPR Ono Surono mengungkapkan, sekitar 100 ribu hektare lahan pertanian setiap tahun masih kerap berubah fungsi peruntukannya, dari lahan pertanian produktif menjadi lahan nonpertanian. Alih fungsi lahan pertanian masih menjadi persoalan yang serius di Indonesia.

Mendag Zulhas Tegas Tolak Impor Bawang Merah di Tengah Lonjakan Harga

Menurut dia, salah satu sebab alih fungsi lahan ini karena adanya masalah internal di tingkat petani. Terutama terkait harga tanah yang dinamis dan tingginya biaya produksi bertani, sementara hasilnya tidak seberapa.

"Mungkin dari sisi harga jual tanah yang setiap tahun itu dinamis. Kedua, petani juga banyak keluhan tentang cost produksi yang tinggi, hasil panen sedikit, sehingga pada akhirnya dia lebih memilih untuk menjual lahan atau lebih memilih beralih ke usaha yang lain," kata Ono, Jumat 12 Juni 2020.

Kementan Gencarkan Pompanisasi dan Olah Tanah serta Percepat Tanam Padi

Baca juga: Jokowi Siapkan 160 Hektare Sawah di Kalimantan untuk Ketahanan Pangan

Kemudian, di sisi lain, menurutnya, regenerasi petani juga mandek. Rata-rata usia petani diketahui sudah tidak muda lagi dan anak petani tidak ingin meneruskan usaha orangtuanya. 

Panen Ganda Kelapa Sawit dan Padi, Untungkan Petani

"Saat ini petani itu sudah usia tua, tidak ada regenerasi ke anak-anak mereka. Karena anak-anak petani itu lebih memilih untuk bekerja di Alfamart, di pabrik-pabrik, atau di sektor lain," ujarnya.

Beberapa masalah tersebut kemudian mendorong petani untuk menjual tanahnya. Untuk itu, menurut Ono, perlu ada intervensi pemerintah kepada petani guna mencegah alih fungsi lahan ini. 

"Misalnya setelah ditetapkan satu daerah ini tidak boleh dialihfungsikan ke hal apa pun, tapi insentif kepada petani harus dipastikan. Pertama insentif fasilitas infrastruktur pertanian harus terselesaikan, saluran irigasi, dan persoalan air harus menjadi kebutuhan yang utama," ujar dia.

"Kedua, harus ada insentif untuk mengurangi cost produksi, dari mulai benih, pupuk, termasuk misalnya membuat program pascapanen, termasuk memasarkan produksi hasil pertanian itu juga," tambahnya. 

Menurut Ono, permasalahan ini terjadi karena belum adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Instrumen hukum diakui memang sudah ada, akan tetapi eksekusinya di lapangan belum terealisasi sepenuhnya.

"Sebenarnya kita sudah punya undang-undang untuk mengatasi alih fungsi lahan itu. Tetapi pada praktiknya, UU itu kan harus disesuaikan dengan perda RTRW atau Rencana Tata Ruang Wilayah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten," kata Ono.

"Nah, yang jadi permasalahan lagi sampai saat ini bisa dikatakan belum ada perda sebagai turunan UU No 41 Tahun 2009 itu," lanjut dia. 

Ke depan, pemerintah, menurutnya, harus melakukan sinkronisasi aturan agar instrumen hukum untuk mencegah alih fungsi lahan itu bisa dieksekusi hingga ke daerah. Bagaimanapun, katanya, aturan hukum harus dilaksanakan karena sifatnya memaksa.

"Jadi menurut saya, harus ada koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, termasuk mengintervensi. Bicara UU kan sifatnya memaksa, dan provinsi dan kabupaten kota wajib mengikutinya," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya