Kompolnas: Pernyataan Wakapolri soal Pelibatan Preman Disalahtafsirkan

Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono (ketiga dari kanan)
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny J. Mamoto menilai pernyataan Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono soal penggunaan istilah preman dalam penanganan COVID-19 disalahtafsirkan.

Top Trending: Wanita Dilarang Naik Kendaraan Online karena Bernama Ini, Komika Usir Ibu Menyusui

Benny menyatakan yang dimaksudkan Gatot adalah pemberdayaan seluruh elemen masyarakat, termasuk di lingkungan pasar tradisional. Karena pasar tradisional memiliki ciri khas sesuai kearifan lokalnya, maka pendekatannya pun perlu disesuaikan.

Dalam tugas sosialisasi protokol kesehatan, semua komponen masyarakat dilibatkan, termasuk tokoh masyarakat, tokoh informal, sesepuh, tokoh yang dituakan di pasar tersebut yang punya pengaruh. Tujuannya agar masyarakat patuh pada protokol kesehatan.

Belasan Anggota TNI Pengeroyok 4 Preman jadi Tersangka dan Ditahan, Ini Jerat Pasalnya

"Penggunaan istilah preman justru menyesatkan dan menyinggung perasaan orang yang dituju,” kata Benny dalam keterangan tertulisnya, Senin 14 September 2020.

Baca juga: Polri Libatkan Preman Tegakkan Protokol COVID-19, Ini Penjelasannya

Ormas yang Berlagak Preman Minta Jatah THR Jelang Lebaran Idul Fitri Bakal Ditindak Tegas

Menurut Purnawirawan jenderal bintang dua Polri ini, edukasi penting dalam merubah kebiasaan baru yang berkaitan dengan kesehatan. Keberadaan tokoh komunitas dalam mengedukasi diperlukan agar bahasanya lebih mudah dimengerti masyarakat.

"Di pasar tradisional, banyak Ibu-ibu dan penjual yang abai menggunakan masker. Oleh sebab itu, perlu koordinasi dan kerja sama dengan pengelola pasar, termasuk tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh di sana," kata mantan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional ini.

Sementara itu, kriminolog Maman Suherman atau akrab disapa Kang Maman menyatakan pernyataan Wakapolri perlu didukung walau perlu adanya penjelasan lanjutan dari Polri.

"Terkait ungkapan pelibatan jeger sebagai penegak disiplin internal di klaster pasar oleh TNI-Polri seperti yang disampaikan Wakapolri dan kini melahirkan polemik di masyarakat, sepertinya perlu ada penjelasan lebih lanjut," ungkap Kang Maman

Menurutnya, TNI-Polri dan Satuan Gugus Tugas COVID-19 tentu akan sangat berhati-hati dalam memilih preman sebagai pemberi edukasi kepada pedagang dan pengunjung pasar secara khusus.

"Perlu penyelidikan dan pendataan cermat, siapa yang dianggap tokoh masyarakat yang punya wibawa namun memiliki rekam jejak yang baik dalam memberikan pengaruh pada lingkungan sekitar. Pemberdayaan tokoh demikian diharapkan dapat meluaskan efisiensi edukasi protokol kesehatan pencegahan virus Corona," ucapnya.

Kang Maman menyebut sebenarnya upaya pelibatan tokoh untuk meningkatkan kesadaran dan ketaatan hukum serta peraturan bukanlah hal asing.

"Langkah ini malahan sangat efektif untuk menutup kekurangan rasio antara anggota polisi dan masyarakat," ujarnya.

Pakar Hukum Pidana Azmi Syahputra menyatakan pernyataan Wakapolri harus dipahami sebagai ajakan agar semua elemen masyarakat bisa patuh pada protokol kesehatan.

"Pernyataan Wakapolri soal pemberdayaan jeger di pasar agar pedagang dan pengunjung pasar taat pada Protokol Kesehatan COVID-19, harus dipahami bahwa dalam setiap komunitas selalu ada tokoh-tokoh yang dipandang dan menjadi panutan. Dan menjadikan tokoh yang dipandang dalam komunitas dapat menjadikan perintah menjadi lebih efektif," ujarnya.

Dosen Sosiologi Hukum dan Kriminologi ini menyatakan, seringkali tanpa harus memberikan ancaman atau sanksi jika tokoh terpandang yang minta melakukan suatu tindakan, akan langsung dicontoh oleh anggota komunitas.

"Dalam sosiologi, ini dapat terjadi karena ada relasi patron and client, relasi saling tergantung. Atau dalam pendekatan lain, karena rasa in group dan out group, kalau tidak mengikuti tokoh seperti bukan dari bagian group itu," katanya.

Azmi menyatakan pernyataan Wakapolri harus dipahami sebagai ajakan agar semua elemen bisa patuh pada protokol kesehatan, kalau tidak patuh maka polisi bisa minta bantuan kepada tokoh setempat atau tokoh komunitas.

"Kalau di pasar ada jeger, di komunitas lain ada tokoh yang lain. Jadi bukan preman, tetapi siapa saja yang berpengaruh di lingkungannya agar anjuran ajakan mematuhi protokol COVID-19 menjadi lebih efektif. Jadi bukan soal preman tetapi kepada seluruh tokoh komunitas apa saja, Wakapolri mengajak untuk mematuhi protokol kesehatan, karena ancaman COVID-19 itu nyata,” katanya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya