UU Cipta Kerja: Jatah Libur Buruh Cuma 1 Hari dalam Sepekan

Buruh demo tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di Balai Kota DKI
Sumber :
  • VIVAnews/Willibrodus

VIVA – DPR dan Pemerintah telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Senin, 5 Oktober 2020. Beleid dengan tebal 905 halaman ini memang menimbulkan banyak kontroversi hingga jadi perbincangan dan debat panas di media sosial.

KLHK: 3,37 Juta Hektare Lahan Sawit Terindikasi Ada dalam Kawasan Hutan

Muncul banyak penolakan dari berbagai pihak, khususnya pekerja/buruh yang merasa dirugikan dengan ketentuan ini. Yang menarik dalam draf final UU Cipta Kerja adalah persoalan jam kerja dan waktu istirahat buruh. Ada perbedaan terkait waktu istirahat mingguan yang juga jadi tuntutan buruh.

Dikutip VIVA pada Bab IV Ketenagakerjaan halaman 436 pasal 79, diatur tentang waktu istirahat dan cuti. Seperti biasanya, ayat 1 menjelaskan bahwa pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti.

Ganjar Cerita Dicurhati Buruh soal UU Cipta Kerja: Tolong Pak Segera Review

Baca juga: Momen Ketua DPR Matikan Mikrofon Anggota yang Protes RUU Cipta Kerja

Lalu, ayat 2 huruf (a) dijelaskan bahwa waktu istirahat saat jam kerja paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus. Waktu istirahat itu tidak termasuk dalam jam kerja. Ketentuan ini sama seperti diatur Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Anies Hati-hati, tapi Tom Lembong Lebih Tegas Kalau Menang Pasti Revisi UU Ciptaker

Yang berbeda, adalah istirahat mingguan yang kini hanya ditentukan satu hari dalam sepekan.

"Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu," demikian bunyi ayat 2 huruf (b) di Omnibus Law Cipta Kerja itu. 

Ketentuan ini menghapus aturan UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang membuka opsi libur dua hari sepekan. Sebagaimana termuat dalam pasal 79 UU sebelumnya bahwa masa istirahat mingguan tidak boleh kurang dari 1 hari setelah 6 hari kerja atau tidak boleh kurang dari 2 hari setelah lima hari kerja dalam satu minggu.

Sementara itu, pada pasal 3, cuti ditetapkan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. Pelaksanaan cuti tahunan itu diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 

Meski begitu, pasal 5 menjelaskan bahwa waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam pasal 1, 2 dan 3, untuk perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya