MAKI Desak Kajari Jaksel Diganti karena Jamu 2 Jenderal Tersangka

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman
Sumber :
  • VIVA/Edwin Firdaus

VIVA – Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyebut Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kajari Jaksel), Anang Supriatna, layak untuk dievaluasi atau bahkan diganti terkait jamuan makan terhadap Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo. 

Masih Proses, Polri Jamin Irjen Napoleon Bonaparte Disidang Etik

Hal ini menyusul tindakan Anang memberikan perlakuan berbeda seperti jamuan makan kepada mantan Kadiv Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo, yang merupakan tersangka kasus dugaan suap terkait penghapusan nama Djoko Tjandra dalam daftar red notice Polri.

"Apa pun sikap Kajari ini patut dievaluasi atau perlu diganti. Apa pun karena prosesnya yang menjadikan ini sebuah perbedaan semua," kata Boyamin, Senin, 19 Oktober 2020.

Polri Buka Suara soal Kapan Sidang Etik Irjen Napoleon Bonaparte

Baca juga: Komjak: Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo Jangan Diistimewakan

Boyamin prihatin dengan tindakan Kajari Jaksel yang menyiapkan jamuan makan siang berupa soto lengkap dengan jajanan pasar. Menurut Boyamin, Anang telah memberikan perlakuan yang berbeda kepada Napoleon dan Prasetijo.

Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo Belum Dipecat, IPW Kritik Kapolri: Parameternya Dipertanyakan

Boyamin meyakini tersangka lain termasuk tersangka korupsi tak mendapat pelayanan serupa.

"Jamuan itu kan soto dan jajanan pasar, dan apa pun itu di ruangan aula yang pengertiannya dipersiapkan untuk itu karena mejanya jelas diatur sebagaimana meja makan di restoran. Bantahan seperti apa pun ini adalah jamuan makan,” kata Boyamin.

“Dan ini sungguh sangat memprihatinkan sikap Kajari yang memperlakukan berbeda, dan saya tanya kasus korupsi yang dilimpahkan ke Kejari Jaksel, saya yakin tidak seperti kemarin ada jamuan makan dan alasannya itu masuk jam makan siang, enggaklah. Karena itu pada posisi itu yang sebenarnya bisa dipercepat, misal, jam 10 apa jam 11 sudah selesai," Boyamin menambahkan.

Boyamin memandang 'pelayanan' yang diberikan Anang kepada Napoleon dan Prasetijo saat proses pelimpahan merupakan sesuatu yang berlebihan. 

Menurutnya, proses pelimpahan berkas perkara di seluruh kantor kejaksaan mulai dari Kejaksaan Negeri hingga Kejaksaan Agung sudah dapat dilakukan dengan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

"Dan itu ada ruangan tersendiri. Jadi sebenarnya cukup di situ ruangannya untuk serah terima orang dan barang bukti. Dan cukuplah kira-kira satu jam. Karena prosesnya tidak lama sehingga tidak perlu melakukan jamuan makan. Karena ini prosesnya sederhana. Pertanyaan biasanya enggak sampai 5 pertanyaan tentang sehat, mengerti dan serah terima. Begitu saja antara penyidik dan penuntut umum. Itu biasanya setahu saya di PTSP itu," ujarnya.

Boyamin pun membantah klaim Anang Supriatna yang menyebut memiliki anggaran makan siang untuk saksi atau tersangka yang diperiksa. Dia menegaskan, Napoleon dan Prasetijo dihadapkan ke jaksa untuk proses pelimpahan bukan pemeriksaan. 

"Kalau toh kasus korupsi ada anggaran itu adalah untuk saksi atau tersangka yang diperiksa, yang memang butuh waktu jam 9 sampai sore misalnya. Bukan pada saat penyerahan seperti ini karena penyidikan kasus yang red notice di Bareskrim dan itu sudah cukup. Jadi, menurut saya itu berlebihan," katanya.

Boyamin pun menyoroti perlakuan berbeda yang diberikan kepada Napoleon dan Prasetijo terkait baju tahanan. Diungkapkan, saat berangkat dari Bareskrim ke Kejari untuk pelimpahan, kedua tersangka tak mengenakan baju tahanan. Baju tahanan baru dikenakan di Kejari dengan alasan akan difoto oleh media. Selepas dari itu, kedua jenderal polisi tersebut kembali mengenakan baju dinas.

Boyamin pun membandingkan perlakuan kepada Napoleon dan Prasetijo dengan para aktivis KAMI yang selalu dikenakan baju tahanan meski baru ditetapkan tersangka. 

"Padahal mereka masih tersangka yang belum tentu dinyatakan P21 oleh Jaksa. Sementara kasus dua oknum jenderal ini sudah dinyatakan P21. Artinya sudah lebih kuat dinyatakan sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap suatu kasus. Artinya sudah dianggap lengkap. Jadi, ini hal-hal yang perlakuan berbeda dan kemudian nampak menjadi suatu dalam kasus penanganan korupsi malah justru diistimewakan. Ini sangat memprihatinkan bagi kita semua dan masyarakat jadi semakin apatis terhadap pemberantasan korupsi ini apakah mendapatkan prioritas dan menjadikannya menjadi program kerja dari Kejagung sendiri atau dalam hal ini Kejari Jaksel," kata dia.

Selain jamuan makan dan baju tahanan, Boyamin menyebut Napoleon dan Prasetijo dalam hal lokasi penahanan. Menurutnya, setelah dilimpahkan ke Kejaksaan, penahanan keduanya seharusnya menjadi kewenangan Jaksa dan ditahan di rumah tahanan sipil. Namun, Kejari Jaksel kembali menitipkan penahanan Napoleon dan Prasetijo ke Rutan Bareskrim.

"Mestinya berlaku umum yaitu di tahanan sipil di Lapas-lapas, bukan dititipkan lagi di Bareskrim. Mestinya semua tahanan Kejaksaan dititipkan di rutan-rutan atau lapas milik Kemenkumham. Misalnya ini di Salemba atau Cipinang," imbuhnya.

Dugaan adanya perlakuan istimewa dengan jamuan makan terhadap tersangka kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra mencuat dari unggahan foto di Facebook milik Petrus Bala Pattyona kuasa hukum tersangka Brigjen Pol Prasetijo Utomo. 

Melalui akun Petrus Bala Pattyona II, Petrus menggugah foto momen saat Kajari Jakarta Selatan menjamu makan siang ketiga tersangka saat pelimpahan tahap II dari Bareskrim Polri. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya