Puluhan Ribu Orang Berebut Makanan 'Berkah'

VIVAnews - Untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, Keraton Surakarta Hadiningrat menggelar upacara tradisional Grebeg Maulud. Prosesi upacara tersebut digelar dengan mengarak gunungan yang terbuat dari berbagai bahan makanan dan sayuran.

Usai diarak dan didoakan, gunungan itu pun diserbu dan dirayah oleh masyarakat.

Sejarah Grebeg Maulud telah ada sejak abad pertengahan ke-14. Tepatnya, semasa pemerintahan Kerajaan Islam Demak. Grebeg berasal dari kata Gerbo yang memiliki arti disatukan. Artinya, penyatuan dari semua kegiatan. Sehingga bisa dikatakan Grebeg itu merupakan puncak atau klimaks dari rangkaian kegiatan keraton selama peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Gunungan itu merupakan tumpeng besar yang terbuat dari bahan makanan, buah, snack dan hasil bumi baik yang mentah maupun matang.
Dalam prosesi Grebeg Maulus jumlah gunungan yang diarak sebanyak enam buah  gunungan. Diantaranya gunungan lanang (pria), gunungan  wadon (wanita) dan gununngan anakan (anak).

Kepala Muesum dan Pariwisata Keraton Surakarta Hadiningrat, KGPH Puger mengatakan gunungan tersebut memiliki simbol. Gunungan lanang yang berbentuk meru atau kerucut bermakna hubungan manusia dengan Tuhan.

Sedangkan gunungan wadon bentuknya lebih tumpul horozontal. Artinya, hubungan antar manusia dalam kehidupan duniawi ini.

Selain makna tersebut, disebutkan dia, pasangan gunungan dan anakan itu juga memiliki arti jika manusia itu berasal dari laki-laki dan perempuan. Yang selanjutnya dari pasangan itu menghasilkan keturunan.

“Yah, kehidupan ini memang digariskan secara turun temurun,” kata KGPH Puger kepada VIVAnews di Solo, Jumat, 26 Februari 2010.

Prosesi Grebeg Maulud berupa iring-iringan tiga pasangan gunungan dikeluarkan dari dalam Keraton Surakarta Hadinigrat sekitar pukul 10.00 WIB.

Selanjutnya, gunungan beserta peserta kirab lainnya diantaranya prajurit keraton, seperti prajurit Panyutra, Jayengastro, gamelan, utusan bupati, casantoko dan abdi dalem berjalan melewati Kori Brojonolo, Siti Hinggil, Pagelaran, Alun-Alun Utara hingga berakhir di halaman Masjid Agung, Solo.

Ribuan masyarakat rela menunggu berjam-jam untuk melihat arak-arakan gunungan tersebut. Bahkan, mereka rela berdesak-desakan.

Selain masyarakat Solo beberapa wisatawan mancanegara juga terlihat melihat prosesi upacara tradisional yang sudah turun temurun ini.

Setibanya di halaman Masjid Agung, gunungan itu langsung dibacakan doa oleh ulama keraton. Setelah pembacaan doa selesai, massa yang sudah berdesak-desakan sejak pagi hari itu langsung merayah dan memperebutkan isi gunungan. Bahkan, gunungan yang diletakkan di depan serambi masjid langsung diserbu massa. Padahal, pembacaan doa belum selesai.

Sebagai besar masyarakat beranggapan jika berhasil mendapatkan gunungan itu menurut kepercayaan bisa membawa keberuntungan seperti halnya keselamatan, rejeki lancar dan kesehatan. Maka tidak heran, jika mereka saling berebut posisi paling depan yang dekat dengan gunungan supaya mendapatkan isi gunungan itu.

“Karena gunungan itu sendiri merupakan wilujengan maka semua yang diperoleh dari gunungan itu bisa berarti mendapatkan keselamatan dan keberkahan,” kata KGPH Puger.

Laporan: Fajar Sodiq| Solo

Kisah Inspiratif dari Anak Santri, Ciptakan Produk Pangan untuk Solusi Kesehatan
Ilustrasi konsumen memilih unit properti.

Keuntungan Miliki Properti, Proses KPR dari Bank Terbesar di Indonesia Lebih Mudah

Properti dapat menghasilkan pendapatan pasif melalui penyewaan. Jika Anda memiliki rumah, apartemen, atau bangunan komersial, Anda dapat menyewakannya kepada orang lain .

img_title
VIVA.co.id
7 Mei 2024