Refly Harun: Kalau Sudah Bayar Denda, untuk Apa Sanksi Pidana

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, saat berkunjung ke kantor VIVA.co.id di Jakarta.
Sumber :
  • VIVA/Dhana Kencana

VIVA – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyampaikan pemberian sanksi administratif dan sebagainya sudah lebih dari cukup untuk para pelanggar protokol kesehatan ketimbang dikenakan sanksi pidana.

Firasat Murid SMK Depok Sebelum Kecelakaan di Ciater, Sopir Bus Ungkap Detik-detik Tragedi Maut

Hal itu disampaikan Refly ketika dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan Habib Rizieq Shihab terkait kasus kerumunan Petamburan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Senin hari ini, 10 Mei 2021.

Awalnya, Rizieq sebagai terdakwa bertanya kepada Refly mengenai soal pidana seorang dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan padahal sudah dikenakan sanksi denda administratif.

Keras! Refly Sentil Anies: Dia Kan Individual, Tak Perlu Raker untuk Mengatakan Oposisi

Refly pun kemudian memberikan jawabannya, pertama dalam pelanggaran pidana ada dua prinsip hukum yakni mala in se dan mala prohibita. Pelanggaran pidana yang masuk prinsip mala in se tersebut saja masih bisa diselesaikan perkaranya di luar hukum.

"Tapi kalau sanksi misalnya sanksi non pidana bisa diterapkan dan yang menerima sanksi tersebut juga patuh misalnya. Ya maka kita bicara untuk apalagi kita sanksi pidana untuk kasus itu," kata Refly dalam persidangan.

Jenderal Kopassus di Balik Operasi Rebut Homeyo, Refly Harun Bungkam Irma Nasdem

Menurut Refly, hukum bukan dipakai hanya untuk balas dendam. Hukum harus merestorasi atau biasa disebut dengan restoratif justice. 

"Misalnya dalam soal prokes kalau semua pelanggaran prokes yang mala in prohibita itu dekat dalam hukum pidana semua, maka berdasarkan asas equality before the law dan asas diskriminatif, semuanya harus diproses demi menegakkan dua prinsip tersebut. Kan tidak mungkin, bukan itu tujuan dari hukum, tujuan dari hukum itu tertib sosial. Kalau manusianya sudah tertib sudah patuh misalnya, untuk apalagi dihukum," jelasnya.

Ia melanjutkan, bahwa dalam pemberatan hukum pidana maka harus dibuktikan setidaknya dua alasan yang menimbulkan kedaruratan kesehatan. Namun, hal itu sulit dibuktikan. 

"Nah kalau dari sana saja susah kita harus membuktikannya, maka membawa ini ke ranah pidana lebih tidak penting lagi," lanjutnya.

Untuk diketahui, dalam kasus kerumunan Petamburan, Rizieq didakwa telah melakukan penghasutan hingga meciptakan kerumunan dalam acara pernikahan putrinya dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sementara dalam kasus kerumunan Megamendung, Rizieq didakwa telah melanggar aturan kekarantinaan kesehatan dengan menghadiri acara di Pondok Pesantren Agrokultural Markaz Syariah, Megamendung, Puncak, Kabupaten Bogor 13 November 2020 lalu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya