Dradjad Wibowo: Harus Antisipasi Masuk Zona Merah COVID-19

Tenaga kesehatan mengangkat bendera Merah Putih dalam pelaksanaan vaksinasi COVID-19 pada pegawai pemerintah di Jakarta, Kamis, 11 Maret 2021.
Sumber :
  • ANTARA/M Risyal Hidayat

VIVA – Ekonom Dradjad H Wibowo mengatakan, melihat tingkat penularan COVID-19 saat ini, Indonesia masih dikategorikan dalam zona kuning pandemi. Tapi ia mewanti-wanti, agar pemerintah pusat dan daerah mewaspadai agar tidak turun ke zona merah.

Itu disampaikannya dalam artikelnya yang juga dimuat BMC Public Health, satu diantara jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dengan judul When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Dradjad yang juga ekonom senior INDEF ini mendasarkan pada penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan COVID-19. Serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP). Ia pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dalam pembagian zona COVID-19, dikenal pada tiga tingkatan. Yakni zona hijau, kuning dan zona merah. Pada zona merah, kasus harian Corona ini adalah elastisitas produksi kesehatan di atas 1.

"Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan," kata Dradjad, Selasa 8 Juni 2021. 

Untuk wilayah zona kuning, kasus harian memang turun walau elastisitas di atas 1. Namun kata dia, pelonggaran tindakan kesehatan publik atau TKP, direkomendasikan agar tidak dilakukan.

Sementara di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. 

"Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas bayesian," katanya.

Jangan Anggap Remeh, Ini 4 Tanda yang Menunjukkan Anda Alami Stres

Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar PAN ini mengatakan, indikator epidemiologi adalah kunci yang digunakan untuk menentukan reproduksi atau R. Hanya persoalannya, di negara-negara berkembang, hampir susah mengestimasi R tersebut secara akurat.

"Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar atau dikenal dengan istilah R0 pada awal pandemi," jelasnya. 

Waspada! DBD di Indonesia Melonjak Hampir 3 Kali Lipat pada Kuartal I 2024

Dengan kondisi demikian, Dradjad mengaku menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikel tersebut, ia mengembangkan 'jembatan sederhana' antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Menurutnya, cara itu juga diterapkan Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia. Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi. Dan memang benar terjadi. 

Industri Facility Manajemen Indonesia di Atas Vietnam dan Kamboja

"Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus," lanjutnya.

Data kasus di Indonesia per 5 Juni 2021, elastisitas masih sebesar 1,45. Jika dihitung dari 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, elastisitas mengalami puncaknya yakni sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021. Di periode ini, memang Indonesia mengalami puncak kasus COVID-19, yang dianggap sebagai akibat dari libur panjang.

"Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1. Namun angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, elastisitas kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning," jelasnya. 

Dengan adanya tren elastisitas yang naik, ia mengatakan pemerintah tetap harus mengantisipasi resiko masuk dalam zona merah. Tidak bisa diabaikan kemungkinan tersebut. Untuk itu menurutnya, di bulan Juni 2021 ini seharusnya Indonesia memperketat TKP-nya. 

"Apalagi, di beberapa kota sudah terdapat kasus di mana rumah sakit kewalahan menampung pasien COVID-19," ujarnya.

Dradjad mengusulkan, agar analisa terhadap kondisi penularan COVID-19 secara ilmiah harus dilakukan dengan akurat dan krusial. Dengan begitu, baik pemerintah pusat maupun daerahm bisa mengambil skema TKP yang tepat.

"Sehingga jumlah kasus dapat diturunkan, namun kerusakan ekonomi dan psikologinya dapat ditekan," lanjutnya.

Harus diakui, penerapan TKP (seperti PSBB atau pengetatan lainnya) di tahun kedua andemi ini, sedikit menyulitkan. Selain karena masyarakat juga lelah secara psikologis.

Selain itu, lanjutnya, ada jutaan pekerja yang memiliki ketergantungan dari penghasilan harian. Dengan situasi seperti itu, menerapkan TKP menurutnya memang mengalami tantangan tersendiri.

Dia menjelaskan, Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang bekerja pada Agustus 2020 sekitar 77,67 juta orang atau 60.47 persen adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, baik dari pertanian ataupun non-pertanian.  

Selain itu, sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian. 

"Dengan mengetahui kondisi penularan, TKP bisa didisain lebih pas lagi. Ini dijalankan sembari kita mengusahakan herd immunity melalui vaksinasi," katanya. 

Diakuinya, memang vaksinasi bukan jalan terakhir menghadapi pandemi COVID-19. Tetapi dalam rangka mensinergikan antara penanganan pandemi dengan pemulihan ekonomi.

"Berbeda dengan lockdown yang secara kesehatan positif, tapi secara ekonomi negatif,". 

Lebih lanjut dijelaskannya, apabila herd immunity tercapai melalui vaksinasi, maka pergerakan orang bisa dipulihkan. Sementara risiko eskalasi penularan lebih terkendali. 

"Rumah tangga dan pelaku usaha yang sudah divaksin pun lebih konfiden beraktifitas ekonomi, sehingga konsumsi, investasi dan pertumbuhan bisa pulih," katanya.

Dia menegaskan, bahwa perekonomian sangat bergantung dari pergerakan orang. Maka jika pergerakan dibatasi lantaran penularan tinggi, maka bisa dipastikan konsumsi rumah tangga dan investasi akan terganggu pula. 

Padahal, lanjut Dradjad, keduanya menyumbang sekitar 90 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2020, angkanya adalah 89,39 persen, dengan kontribusi konsumsi 57,66 persen dan investasi 31,73 persen. 

"Pemerintah bisa memberi stimulus fiskal, tapi peranan belanja pemerintah hanya 9,29 persen. Jadi kita memang perlu memulihkan pergerakan orang. Kombinasi TKP, vaksinasi dan pengobatan yang tepat menjadi pilihan paling realistis saat ini untuk pemulihan tersebut,".

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya