Pakar Hukum: Penyelenggara Negara Seharusnya Dituntut Lebih Berat

Delapan terdakwa kasus Asabri didakwa merugikan uang negara Rp22,7 triliun
Sumber :
  • Antara

VIVA - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno, menilai penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil seharusnya dituntut dan diancam dengan pidana hukum yang lebih berat dibandingkan swasta dalam kasus-kasus korupsi. Sebab, korupsi terjadi karena adanya keterlibatan penyelenggara negara atau PNS.

KPK Ungkap Hal Ini Usai Hakim Vonis Andhi Pramono 10 Tahun Bui di Kasus Gratifikasi

Gedung ASABRI

Photo :
  • vivanews/Andry

Swasta Dituntut Mati

Andhi Pramono Jalani Sidang Vonis Hari Ini soal Kasus Gratifikasi Berawal dari Flexing

Hal ini disampaikan Nur Basuki menanggapi perbedaan tuntutan dari jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau PT Asabri (persero) di mana pihak swasta yakni Presiden Direktur PT Trada Alam Minerba Heru Hidayat dituntut dengan pidana hukuman mati, sementara sejumlah mantan direksi PT Asabri yang menjadi terdakwa hanya dituntut dengan pidana hukuman penjara 10 sampai 15 tahun.

“Kalau secara umumnya, mestinya yang penyelenggara negara atau pegawai negeri ancaman hukumannya harus lebih berat dari pihak swasta. Karena pada umumnya korupsi itu terjadi karena ada keterlibatan dari pegawai negeri atau penyelenggara negara,” kata Nur kepada awak media, Selasa, 21 Desember 2021.

Mahasiswa UI Pembunuh Adik Kelas Dituntut Hukuman Mati

Nur menuturkan hampir mustahil kejahatan korupsi tidak melibatkan penyelenggara negara atau PNS. Karena, kata dia, penyelenggara negaralah yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang mengatur kebijakan dan mengelola anggaran negara.

“Korupsi itu mestinya melibatkan aparatur negara karena aparatur negara itulah yang mempunyai kekuasaan, mempunyai kewenangan untuk itu,” ujarnya.

Baca juga: Pengacara Heru Hidayat Sebut Jaksa Kehabisan Akal Tuntut Pidana Mati

Ancaman Hukuman

Dia juga menegaskan ancaman hukuman terhadap terdakwa korupsi tidak tergantung pada besar atau kecilnya kerugian negara yang diakibatkan dari tindak pidana terdakwa.

Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kata Nur, tidak mengatur sama sekali besaran kerugian negara akan mempengaruhi ancaman hukuman terhadap terdakwa.

“Dalam UU Tipikor, besarnya kerugian keuangan negara itu, itu tidak linear dengan berat ringannya pidana. Khususnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 (UU Tipikor), tidak mencantumkan berapa kerugian keuangan negara. Yang penting di situ, ada kerugian keuangan negara yang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau penyalahgunaan wewenang, itu merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana maksud Pasal 2 dan Pasal 3,” kata Nur.

Nur tidak menyebutkan tuntutan jaksa tersebut tidak adil karena menurut dia makna kata ‘adil’ tersebut sangat tergantung sudut pandang masing-masing pihak. Hanya saja, terang dia, jika ditempatkan dalam porsi yang sesuai dan tepat, maka hukuman terhadap penyelenggara negara dalam kasus korupsi harus lebih berat dibandingkan pihak swasta.

“Saya nggak ngomong adil atau tidak adil, karena susah untuk mengukurnya, adil itu dari sisi yang mana, memang susah memberikan definisi adil, tergantung dari sisi mana. Jadi, kita kembali ke porsinya masing-masing,” kata Nur.

Tidak Adil

Dihubungi secara terpisah, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Dian Adriawan dengan tegas menilai tuntutan jaksa dari Kejagung terhadap para terdakwa kasus Asabri tidak adil. Sebabnya, terdakwa Heru Hidayat dituntut dengan pidana mati, sementara mantan dirut dan direksi PT Asabri dituntut dengan pidana penjara 10-15 tahun.

“Kalau mengenai ancaman pidana tergantung dari peran-peran yang dilakukan. Tetapi kalau misalnya ada yang dituntut dengan pidana mati sedangkan yang lain tidak dituntut dengan pidana mati, itu sesuatu yang menurut saya tidak adil. Dalam kasus ini (kasus Asabri), pasal yang diterapkan pasal yang sama dan di-junto-kan dengan Pasal 55 KUHP kan. Nah, kalau dijunto dengan pasal 55 dan terbukti berarti di sini tidak mungkin ada yang dipidana mati karena pasal yang didakwakan itu Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor,” kata Dian.

Dian mengaku aneh karena aktor penting dalam perkara korupsi adalah pejabat atau penyelenggara negara. Keterlibatan pihak swasta, umumnya, kata Dian, dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP, yakni turut serta melakukan perbuatan pidana.

“Karena begini, dituntut dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor junto Pasal 55 KUHP, Pasal 55 itulah yang mengkaitkan keberadaan pihak swasta di dalam kasus ini. Kok malah swasta yang diperberat ancaman pidananya, tuntutan pidananya,” kata Dian.

Permainan Bulutangkis

Dian mengibaratkan kasus korupsi ini dengan permainan bulutangkis ganda. Jika satu pemain salah, maka yang lain juga salah dan hukumannya juga berdampak untuk semua dan sama.

“Kalau kasus Asabri ini, justru yang utama dilihat itu pihak penyelenggara negara, baru pihak swasta Pasal 55 KUHP. Tetapi kemudian kenapa yang Pasal 55 (swasta) justru lebih tinggi ancaman hukumannya. Itu kan nggak logis, justru penyelenggara negaranya yang harus lebih tinggi karena ketentuan korupsi kan untuk penyelenggara negara sebenarnya. Aneh ini,” ujarnya.

Dalam kasus dugaan korupsi Asabri ini, Presiden Direktur PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dituntut jaksa dengan pidana hukuman mati karena jaksa meyakini Heru bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT Asabri yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 Triliun. Selain itu, Heru Hidayat dituntut hukuman uang pengganti Rp12,434 Triliun.

Berbeda dengan Heru Hidayat, sejumlah pihak lain yang diyakini jaksa bersama-sama melakukan korupsi dalam kasus Asabri khususnya dari jajaran direksi PT Asabri mendapat ancaman hukuman yang lebih ringan.

Sejumlah pihak lain ini adalah Dirut PT Asabri periode 2012-Maret 2016 Mayjen Purn Adam Rachmat Damiri dituntut jaksa dengan hukuman penjara 10 tahun ditambah denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp17,9 miliar. Lalu, Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode 2012-Juni 2014 Bachtiar Effendi dituntut dengan hukuman penjara 12 tahun ditambah denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp453,7 juta.

Kemudian, Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode Juli 2014-Agustus 2019 Hari Setianto dituntut dengan hukuman penjara 14 tahun ditambah denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan. Sementara Dirut PT Asabri periode Maret 2016-Juli 2020 Letjen Purn Sonny Widjaya dituntut dengan hukuman penjara 10 tahun ditambah denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp64,5 miliar.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya