Tetap Usut Kasus yang Digugurkan Praperadilan, Ini Dalih Bareskrim Polri

Gedung Bareskrim Polri
Sumber :
  • VIVA/Rahmat Fatahillah Ilham

VIVA Nasional – Aparat Direktorat Pidana Umum Bareskrim Polri dianggap tidak profesional, bahkan terkesan ngotot melanjutkan perkara, meskipun putusan praperadilan telah menyatakan bahwa penetapan tersangka dalam perkara tersebut tidak sah dan tidak berdasar hukum. 

Selesai Periksa Eks Gubernur Babel Terkait Kasus Pemalsuan, Bareskrim Sita Dokumen BSB Ini

Dugaan adanya ketidakprofesional oknum aparat Bareskrim ini diungkap kuasa hukum terlapor, Amsal. Dia menyebut indikasi ketidakprofesionalan oknum aparat penegak hukum tersebut terjadi dalam proses penyidikan klien kami dalam statusnya sebagai terlapor.

Amsal mengatakan pada 12 Juli 2021 lalu kliennya dilaporkan oleh pihak pelapor, terkait tindak pidana penipuan dan pemalsuan surat dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, pada 24 Maret 2022.

Selain Sabu, Rio Reifan Juga Konsumsi Ekstasi dan Alprazolam

Selanjutnya, Amsal mewakili kliennya mendaftarkan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 18 April 2022, dan telah keluar putusan praperadilan dari PN Jakarta Selatan nomor: 27/Pid.Prap/2022/PN.Jkt.Sel pada 31 Mei 2022.

"Amar putusannya bahwa status tersangka klien kami dinyatakan tidak sah dan tidak berdasarkan hukum," kata Amsal dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis, 15 Desember 2022.

Terkuak, 2 Tersangka Baru Kasus Korupsi Timah Adalah Bos Sriwijaya Air

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan / PN JAKSEL

Photo :
  • vivanews/Andry Daud

Meski putusan praperadilan telah keluar, Amsal merasa ada indikasi ketidakprofesionalan dari pihak penyidik Dittipidum Bareskrim Polri. Pasalnya, pada 9 November 2022 lalu, aparat penegak hukum tersebut masih mengirimkan surat panggilan kepada saksi untuk perkara yang sama, yang telah digugurkan oleh sidang praperadilan akhir Mei 2022 lalu. 

"Ini janggal dan berbahaya sekali bagi masa depan penegakan hukum di Indonesia," ujarnya 

Lebih jauh, Amsal menuturkan surat panggilan saksi tersebut didasari oleh Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: SP.Sidik/137.2a/I/2022/Dittipidum, tertanggal 19 Januari 2022. 

Menurutnya, Sprindik Nomor 137 tidak jelas dasar penyidikannya, karena selama ini Surat Perintah Penyidikan kliennya Nomor: SP.Sidik/138.2a/I/2022/Dittipidum tanggal 18 Januari 2022 (Sprindik 138) yang telah dibatalkan oleh putusan praperadilan Nomor 27/Pid.Pra/2022/PN.Jkt.Sel, tanggal 31 Mei 2022 yang dipakai penyidik. 

"Sprindik 137 ini sangat janggal karena diterbitkan pada tanggal 19 Januari 2022 atau satu hari setelah Sprindik 138,” urai Amsal.

Amsal mengatakan, berdasarkan surat panggilan saksi-saksi oleh penyidik Dittipidum Bareskrim Polri, pihaknya menemukan adanya Sprindik lama dan Sprindik baru dengan nomor dan tanggal yang berbeda sebagai dasar panggilan saksi pasca adanya putusan praperadilan tanggal 31 Mei 2022. 

"Bahwa patut diduga dalam penanganan perkara ini, penyidik Dittipidum Bareskrim Polri sangat memaksakan kehendak dan terkesan tendesius untuk mentersangkakan klien kami dan patut diduga penyidik Dittipidum Bareskrim Polri tidak melaksanakan rekomendasi gelar perkara di Birowasidik Bareskim Polri tertanggal 26 April 2022 dan tidak melaksanakan putusan praperadilan tertanggal 31 Mei 2022, ini ada apa?" ungkapnya

Amsal menerangkan terhadap kliennya pada tanggal 26 April 2022 juga telah dilakukan gelar perkara khusus. Laporan polisi No: LP/B/409/VII/2021/SPKT/Bareskrim, tertanggal 12 Juli 2021.  

"Yang pada intinya hasil gelar perkara khusus menyatakan bahwa penyidik terlampau dini dalam menetapkan klien kami sebagai tersangka. Dan, Penyidik Dittipidum Bareskrim Polri sampai dengan saat ini tidak melaksanakan 8 (delapan) poin isi rekomendasi gelar perkara khusus tersebut," paparnya

Dalam gelar perkara khusus tersebut, Birowassidik menyatakan belum menemukan 'willen' dan 'witten' kedua terlapor terkait mens rea penggunaan surat perjanjian kesepakatan bersama, yang diduga palsu oleh penyidik Dittipidum Bareskrim Polri.

"Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, penyidik Dittipidum Bareskrim Polri diduga tidak profesional dalam melakukan penyidikan dan menjalankan tugasnya, tidak sesuai dengan ketentuan pada KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor  6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana," ujarnya

Terpisah, Wakil Direktur Tindak Pidana Umum (Dittipidim) Bareskrim Polri, Kombes Pol Dicky Patria Negara menegaskan pemanggilan kembali saksi dalam kasus pidana tetap sah dan dibolehkan secara hukum meskipun penetapan tersangka telah digugurkan lewat praperadilan. 

Ilustrasi Reserse Bareskrim Polri

Photo :
  • VIVA/Rahmat Fatahillah Ilham

Menurutnya, praperadilan hanya membatalkan status tersangka, bukan menghentikan penyidikan. "Karena yang dibatalkan hanya surat penetapan (status) tersangka saja, bukan menghentikan penyidikannya," kata Dicky saat dikonfirmasi.

Hal itu disampaikan Dicky saat menanggapi stigma yang menyatakan Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri dituding telah mengangkangi putusan praperadilan dalam kasus tindak pidana penipuan dan pemalsuan surat yang dimenangkan terlapor I dan P. Polri masih melanjutkan kasus meski terlapor memenangkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Duduk Perkara

Kasus ini berawal dari pelapor yang melaporkan I dan P pada 12 Juli 2021 ke Bareskrim Polri terkait dugaan tindak pidana penipuan dan pemalsuan surat. Surat yang dimaksud adalah surat kesepakatan bersama/perdamaian antara terlapor dengan pihak terlapor yang antara lain Direktur PT Triforma, Komisaris Utama PT Triforma, dan Direktur Utama PT Aditya Guna Persada yang dibuat pada tanggal 6 Desember 2018.

Dalam surat kesepakatan perdamaian tersebut disepakati bahwa utang terlapor kepada pelapor adalah sebesar Rp 415 miliar yang akan dibayarkan oleh PT Triforma dari dana salah transfer yang dilakukan oleh terlapor selaku Direktur Utama PT IMRI yang telah ditransfer sebelumnya ke PT Triforma sebesar Rp 431 miliar.

Sebagai informasi, PT IMRI adalah perusahaan yang didirikan oleh terlapor pada 17 Juli 2017. Sedangkan PT Triforma adalah perusahaan yang didirikan oleh pihak pelapor dengan salah satu terlapor pada 6 Maret 2017.

"Soal dana pengembalian itu sudah sepakat semuanya. Bahwa dana salah transfer itulah yang digunakan untuk membayar utang pihak terlapor kepada pelapor. Soal mekanisme pembayarannya seperti apa, ya itu internal PT Triforma dengan pelapor, toh PT Triforma itu juga masih di bawah kendali pelapor. Jadi seperti dari kantong kiri masuk kantong kanan aja. Jadi jelas, perkara pinjam meminjam ini sudah selesai. Kalau pelapor menuntut pembayaran lagi, artinya pelapor mendapatkan pembayaran dua kali dari terlapor," jelas Amsal.

Ketika ditanya, kenapa tiba-tiba ada perjanjian perdamaian tersebut, Amsal menjelaskan, surat kesepakatan bersama ini diinisiasi untuk menghindarkan pemilik PT Triforma (yang merupakan milik pelapor melalui PT AGP dan PT CTA), dari dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp 2,8 triliun.

PT Triforma merupakan perusahaan investasi yang juga bergerak dalam perdagangan jual-beli nikel yang belakangan diketahui hal itu ternyata fiktif belaka.

Menurut Amsal, pendapatan hingga Rp 2,8 triliun dari PT Triforma itu sebenarnya bukan dari perdagangan nikel, melainkan diperoleh dari memutar uang dari pinjaman-pinjaman dengan sistem skema ponzi yang diatur oleh salah satu direkturnya.

"Ini sebenarnya tidak ada perkara pidana sama sekali, kasus ini murni perdata karena pokok permasalahannya adalah surat menyurat dan transaksi pinjam meminjam antara terlapor dan pelapor. Jadi penggiringan kasus ke ranah pidana sebenarnya diduga sangat dipaksakan oleh penyidik. Apalagi sudah ada surat kesepakatan bersama/perdamaian di antara kedua belah pihak. Nah, sekarang surat itu dianggap palsu, gimana ceritanya?"
terang Amsal.

Berdasarkan fakta dan bukti-bukti tersebut itulah, terang Amsal, sidang praperadilan memutuskan untuk membatalkan status tersangka kliennya. Dia berharap, aparat penegak hukum mematuhi putusan praperadilan tersebut dengan tidak mengulik lagi perkara yang sama. 

"Kita berharap semua pihak profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya. Ke mana
lagi kita akan mencari keadilan kalau bukan kepada negara, dalam hal ini
Kepolisian Negara Republik Indonesia," pungkasnya

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya