Ruang Lingkup Radikalisme-Terorisme di RI Makin Menciut, Begini Analisanya

Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia Mahfudz Siddiq
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Reza Fajri.

VIVA Nasional – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelora Indonesia Mahfudz Siddiq menilai, akar pohon radikalisme yang melahirkan ranting terorisme di Indonesia kini sudah semakin menciut. 

Aturan Baru, Arab Saudi Izinkan Semua Jenis Visa Bisa Ibadah Umrah

"Situasi sekarang menyebabkan terorisme bukan lagi agenda prioritas besar untuk seluruh negara, termasuk Indonesia, yang sedang menghadapi pertarungan-pertarungan globalisasi," ujar Mahfudz dalam seri Webinar Nasional yang digelar Moya Institute, bertajuk 'Radikalisme: Adakah Akarnya di Indonesia?' Jumat 23 Desember 2022.

Terorisme Seakan Sudah Menjadi Penyakit Akut di Masyarakat.

Photo :
  • vstory
PKB Perkuat Politik Islam dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran, Menurut Pengamat

Mahfudz menyarankan agar gagasan moderasi Islam dan kompatibilitasnya dengan demokrasi, terus digemakan  serta gagasan Islam yang bisa berbaur dengan negara juga terus dipromosikan. Upaya itu perlu juga ditambah dengan upaya membangun literasi dan persuasi, sehingga tidak melahirkan pertentangan di kalangan penganut agama.

Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komarudin Hidayat mengungkapkan, saat ini makin banyak ilmuwan, peneliti, sejarawan, yang mulai menyadari bahwa penyebab utama aksi radikalisme-terorisme lebih kepada politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya.

Mengenal Agama Sikh, Keyakinan yang Dianut Bunga Zainal dan Anak-anaknya

Menurut Komarudin, justru agama muncul belakangan dari rasa ketidakpuasan, kemarahan, dan ketidakseimbangan kelompok. Meski harus juga diakui, di kalangan umat beragama ada perbedaan dalam hal radikalisme, karena menyangkut keyakinan.

"Kalau di Indonesia, jika ada kaitannya dengan orang-orang beragama itu ruang lingkupnya juga makin mengecil. Tetapi ketika aparat penegak hukum makin melemah yang seharusnya mempersempit munculnya radikalisme, maka ruang gerak radikalisme merebak kembali," ujar Komarudin.

Pemerhati isu-isu strategis dan politik global, Prof Imron Cotan menilai, banyaknya informasi tersebar di ranah maya menciptakan paradoks pilihan. Dalam situasi demikian, arus infomasi  yang tak tersaring membuat orang kebingungan, sehingga mudah terdorong pada ajaran-ajaran radikal (self-radicalization).

"Hukum mencari pasti mendapatkan. Jadi kalau seseorang mencari hukum yang membenarkan radikalisme-terorisme dalam hutan informasi di dunia maya, yang bersangkutan pasti memperolehnya," ujar Imron.

Ilustrasi penangkapan terduga teroris

Photo :
  • vstory

Kendati begitu, kini makin banyak tokoh utama motor radikalisme-terorisme yang telah tewas dinegasikan oleh negara-negara maju, utamanya Amerika Serikat. Hal ini, kata Imron, berimplikasi terhadap mengeclnya aksi radikalisme-terorisme.

"Kita harus memerangi kebodohan dan kemiskinan agar memutus gerakan radikalisme-terorisme, sehingga menyadarkan masyarakat bahwa sebetulnya gerakan sempalan tersebut tidak relevan dengan tujuan berdirinya NKRI," ujar Imron.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyampaikan, radikalisme-terorisme juga harus dicermati dari fenomena tindakan separatis, seperti kelompok bersenjata di Papua.

"Kalau dilihat dari unsur hukum, mereka (kelompok bersenjata Papua) juga sama dengan radikalisme dan terorisme. Mereka menggunakan kekerasan senjata, melawan hukum, dan menganggu ketertiban umum, keamanan, dan mengancam keutuhan wilayah NKRI. Jadi ini juga harus disadari sebagai bagian dari radikalisme dan terorisme," kata Mu'ti.

Direktur Moya Institute Hery Sucipto menyebutkan, ancaman radikalisme - terorisme tidak akan pernah hilang seiring dinamika politik global. Fakta-fakta kemunculan radikalisme-terorisme tetap harus mendapat perhatian khusus untuk ditumpas tuntas.

 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya