Teddy Minahasa Dinilai Bisa Bebas Dari Hukuman Mati, Ini Penjelasan Pengamat

Teddy Minahasa, Sidang Tuntutan Kasus Peredaran Narkoba
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA Nasional – Irjen Pol Teddy Minahasa dituntut hukuman mati oleh Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU). Mantan Kapolda Sumatera Barat itu dipandang sebagai pelaku utama dalam kasus peredaran narkoba jenis sabu seberat 5 kilogram dari Sumatera Barat ke Jakarta.

Satgas Yonarmed 16/TK Amankan 2 WNA Malaysia dan 3 WNI Selundupkan Sabu 25,4 Kg

Menurut Pengamat Kepolisian sekaligus Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Alfons Loemau, tuntutan hukuman mati terhadap Teddy Minahasa tak sesuai fakta-fakta persidangan. Justru, kata dia, seharusnya Teddy bebas. Sebab, kata dia, tidak ada dasar hubungan kausalitas atau sebab akibat.

Teddy Minahasa, Sidang Tuntutan Kasus Peredaran Narkoba

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa
Prajurit Yonarmed 16/TK TNI AD Tangkap Penyelundup Kristal Haram Senilai 25 Miliar dari Malaysia

Apalagi tak ada hubungan logis yang memperlihatkan secara jelas peran Teddy selama persidangan berlangsung. Di mana, dalam persidangan terungkap banyak tersaji hanya dari keterangan Linda Pudjiastuti dan mantan Kapolres Bukittinggi, Dody Prawiranegara.

"Jadi kalau kita dengar rangkaian ini kan rangkaian lebih banyak diceritakan oleh Linda Pudjiastuti dan Dody untuk menunjuk ke Teddy Minahasa. Persoalannya apakah seperti itu bukti-bukti yang terkait dengan itu?” kata Alfons kepada wartawan, Senin, 10 April 2023.

Polisi Sebut Pria yang Ditemukan Tewas Dalam Toren Bandar Narkoba

Alfons juga mengatakan banyak kejanggalan dari pengakuan Linda yang mengklaim pernah diajak Teddy mengunjungi pabrik sabu di Taiwan. Sebab, berdasarkan data dan penelusuran Alfons, tidak ada lokasi di Taiwan yang menunjukkan sebagai tempat produsen narkotika.

“Kalau kita dengar Linda punya cerita bahwa berangkat ke Taiwan beberapa kali sama Teddy Minahasa ini kok cerita, cerita ngarang bohong kalau menurut saya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Alfons menilai masih ada rangkaian yang terputus dalam perkara ini. Rangkaian peristiwa itu, dianalisis Alfons, tidak terungkap di dalam persidangan. Oleh karena itu, Alfons menilai bahwa rangkaian peristiwa dalam kasus ini tidak utuh.

"Jadi antara rangkaian cerita ada yang tidak jalan kalau dari garis komando. Jadi ada lubang-lubang yang kita tidak lihat di dalam persidangan," kata Alfons.

Menurut Alfons, kuasa hukum terdakwa Irjen Teddy Minahasa, Hotman Paris Hutapea seharusnya bisa mendalami soal celah-celah kosong dari keterangan para saksi maupun tersangka. Hal itu dibutuhkan untuk mematahkan alibi yang disampaikan Dody maupun Linda.

"Semuanya kan seolah-olah menaruh Teddy seperti bola golf untuk dipentung. Sedangkan disisi lain kalo kita lihat Linda jadi sentral kan. Linda ini yang menceritakan. Dia itu simpul informasi karena dia cepunya kan,” ujarnya.

Sementara itu, mantan Kabareskrim Anang Iskandar menilai penjatuhan hukuman mati terhadap Teddy Minahasa keliru. Menurutnya, hakim harus menggali aturan dasar narkotika di Indonesia berdasarkan pasal 36 UU no 8 tahun 1976.

“Kalau tuntutannya sudah tepat, tetapi penjatuhan hukumannya yang tidak tepat kalau dijatuhi hukuman mati,” kata Anang dikonfirmasi terpisah.

“Dimana sanksi bagi pelaku kejahatan narkotika pasal 36 menyatakan bahwa sanksinya berupa hukuman badan, pengekangan kebebasan atau pidana penjara bukan pidana mati meskipun diancam pidana mati,” imbuhnya.

Mantan Kapolda Sumbar Irjen Teddy Minahasa di persidangan

Photo :
  • VIVA/Andrew Tito

Lebih lanjut, Anang menilai bahwa kasus Teddy Minahasa tidak bisa disamakan dengan kasus pembunuhan berencana terhadap Novriansyah Yosua Hutabarat yang dilakukan terpidana Ferdy Sambo.

"Beda dengan hukuman mati yang dijatuhkan terhadap perkara Sambo. Perkara sambo masuk pidana umum sanksinya berdasarkan pasal 10 KUHP," imbuhnya.

Di sisi lain, Praktisi hukum Erwin Kallo menilai bahwa sah-sah saja bila jaksa menuntut hukuman mati terhadap Teddy Minahasa jika merujuk pasal yang didakwakan. Hanya saja, ditekankan Erwin, kasus Irjen Teddy Minahasa tergolong prematur, sehingga tidak tepat jika kasus Teddy Minahasa disidangkan karena alat buktinya tidak sah dan kuat.

"Jadi menurut pandangan saya, jangankan tuntutannya hukuman mati, kasus itu disidangkan saja prematur. Lebih parah lagi, itu seharusnya tidak P21, itu prematur, prematurnya begini, harusnya itu, tidak P21, tapi jaksa melakukan P19, mengembalikan berkas ke penyidik untuk dilengkapi atau diperkuat," ujarnya.

Erwin menambahkan, seharusnya sejak awal tim jaksa menolak untuk melanjutkan kasus tersebut sebelum adanya bukti yang sahih dan kuat. Tim jaksa, kata Erwin, setidaknya bisa meminta tim penyidik untuk melakukan uji digital forensik terhadap bukti yang ada saat ini agar sahih.

"Karena bukti yang ditampilkan adalah chat yang di foto. Ya gimana itu kan tidak sah alat bukti itu," ujarnya.

Lebih lanjut, Erwin memandang jaksa seharusnya sedari awal memberi petunjuk kepada penyidik untuk memperkuat bukti pengakuan. Sebab, ia memperhatikan bahwa bukti pengakuan hanya berdasarkan keterangan satu orang saja. Seharusnya, pengakuan tersebut diperkuat oleh minimal dua saksi lain.

"Jadi misalnya gini, si Dodi mengatakan saya disuruh oleh TM, itu menjadi kuat apabila ada dua orang yang mengatakan 'oh iya saya juga dengar TM memang menyuruh waktu makan malam' nah itu baru pengakuan sah," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya