Kemenkominfo Jamin Penyusunan Perpres Publisher Rights Libatkan Seluruh Stakeholder Terdampak

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo, Usman Kansong.
Sumber :
  • Misrohatun Hasanah

Jakarta  – Setelah sekitar 3 tahun digodok, Peraturan Presiden (Perpres) tentang Publishers Rights atau regulasi hak penerbit, akhirnya menemui titik terang. Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kemenkominfo, memastikan bahwa naskah Perpres Publisher Rights itu sudah berada di Sekretariat Negara, untuk segera ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

Menhub Klaim Kepuasan Pemudik Capai 89 Persen pada Periode Mudik Lebaran 2024

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kementerian Kominfo, Usman Kansong menjelaskan, rancangan Perpres Publisher Rights itu sudah dikirimkan Kemenkominfo ke Setneg pada hari Senin 24 Juli 2023 lalu.

"Jadi kurang lebih sudah seminggu berada di Setneg. Setneg akan membahas, melihat, dan menimbang-nimbang sebelum kemudian ditandatangani oleh Presiden," kata Usman dalam telekonferensi di acara diskusi 'Publishers Rights', Sabtu, 29 Juli 2023.

Masa Depan Perekonomian Nusantara di Tangan Generasi Muda

Dia memastikan, seluruh stakeholder terkait sudah secara maksimal dilibatkan, dalam 3 tahun terakhir penyusunan draft Perpres soal Publisher Rights tersebut. Hal ini sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa dalam setiap perumusan peraturan perundang-undangan harus ada meaningful participation atau partisipasi yang berarti, dari para stakeholder terdampak yang terdiri dari tiga hal.

"Pertama adalah hak untuk didengar dari para stakeholders terdampak, kemudian hak untuk dipertimbangkan termasuk masukan terkait pasal-pasal, kemudian yang ketiga adalah hak untuk mendapatkan penjelasan," ujarnya.

Tiket Keliling Nusantara: Hanya Dengan Konten Saja!

Dia menekankan, salah satu hal yang harus dipahami adalah bahwa di dalam meaningful participation itu, tidak ada keharusan pemerintah untuk mengakomodasi atau menerima semua masukan. Karena dalam setiap rumusan peraturan perundang-undangan, hal itu memang tidak bisa memuaskan semua pihak.

"Kecuali mungkin peraturan perundang-undangan tertentu seperti misalnya Inpres atau Instruksi Presiden untuk Aparatur Negara," kata Usman.

Awalnya, Usman mengaku jika draft itu didesain Kominfo untuk menjadi Undang-undang. Kemudian, hal itu pun berubah menjadi Peraturan Pemerintah, hingga akhirnya disepakati menjadi Peraturan Presiden (Perpres).

Proses penyusunannya pun memang harus ditempuh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni melalui pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Kominfo sebagai pihak yang mengajukan hak prakarsa kepada Setneg.

"Kemudian pihak Setneg pun menerbitkan izin prakarsa dan segera memulai pembahasan-pembahasan, dan pembahasan pasal-per-pasal maupun secara global. Dimana tentunya kita juga harus melibatkan seluruh stakeholders yang terdampak," ujarnya.

Sebagian informasi, nantinya publishers rights itu akan mengatur pertanggungjawaban dari platform digital seperti Google dan Facebook, untuk memberikan nilai ekonomi atas berita dari pers lokal maupun pers nasional. Secara garis besar, isi dari rancangan Perpres tersebut menyinggung kewajiban platform digital, untuk bekerja sama dengan perusahaan pers demi mendukung jurnalisme yang berkualitas.

Google Indonesia pun merespon rencana Perpres tersebut dengan ancaman untuk tidak lagi menayangkan konten berita di platformnya. Bahkan, VP Government Affairs and Public Policy Google Asia Pasifik, Michaela Browning, mengaku kecewa dengan arah rancangan dari Perpres Publisher Rights tersebut. Namun, dirinya tetap berharap ada solusi yang terbaik.

Terkait ancaman dari Google tersebut, maka platform pencari mesin tidak akan lagi menayangkan konten yang berasal dari penerbit media massa di tanah air. Dampaknya, selain kehilangan pembaca, publishers juga berpotensi kehilangan pendapatan yang jumlahnya cukup besar.

Bahaya lainnya yakni adalah masyarakat Indonesia bisa kehilangan informasi yang kredibel dan terpercaya dari media massa di tanah air karena Google hanya menayangkan konten non pers yang syarat hoax. Apalagi saat ini sudah memasuki tahun politik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya