Pakar Sebut Kasus Emirsyah Satar di Kejaksaan Ne Bis in Idem

Mantan Direktur Utama Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Emirsyah Satar
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan mantan Direktur Utama PT. Garuda Emirsyah Satar sebagai tersangka korupsi Garuda yakni pengadaan dan sewa Pesawat CRJ 10000 serta ATR 72-600. Ditaksir, Emirsyah telah merugikan negara hingga Rp8,8 triliun.

Buru Harta Rafael Alun, KPK Serahkan Memori Kasasi

Selain Emirsyah, Kejaksaan Agung juga telah menetapkan mitra bisnisnya Soetikno Soedarjo selaku Direktur Utama PT. Mugi Rekso Abadi (MRA). Padahal, kedua kasus dugaan korupsi Direktur Utama PT. Garuda Indonesia baik di KPK maupun Kejaksaan Agung ini tengah disorot.

Karena, perkara yang ditangani di KPK maupun Kejaksaan Agung dinilai saling beririsan. Bahkan, diduga dalam kasus ini berlaku Ne Bis In Idem, yakni kesamaan dalam objek perkara atau dengan kata lain terjadi pengulangan kasus.

Nurul Ghufron Disesak Mundur karena Kembali Bikin KPK Gaduh

Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar (tengah) di KPK.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar justru mempertanyakan kenapa KPK ketika mengusut pertama kasusnya ini tidak fokus pada perbuatan yang sekarang diproses kejaksaan maupun pengadilan.

Mobil Harvey Moeis Disita Lagi, 2 Ferrari dan 1 Mercy

Sebenarnya, kata dia, bisa disimpulkan dari keseluruhan perbuatan itu oleh KPK, bahwa berujung pada gratifikasi. Penerimaan yang dilakukan seseorang berkaitan dengan jabatannya, kemudian itu juga dikualifikasi sebagai bagian dari tindak pidana korupsi. 

“Yang harus dipertanyakan adalah mengapa KPK ketika mengusut pertama tidak fokus pada perbuatan yang sekarang diadili atau diambil alih oleh kejaksaan," kata Fickar melalui keterangannya pada Selasa, 21 Oktober 2023.

Jika kasus Garuda dirunut kembali, kata dia, awal perbuatan Emirsyah Satar menjadi penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum yang menguntungkan pribadi dan merugikan negara, maka mau tidak mau menjadi pengulangan atas apa yang sudah dilakukan oleh KPK.

“Yang jadi pertanyaannya, kenapa KPK dulu tidak menuntut dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Korupsi? Tapi lebih memilih pada pasal-pasal gratifikasi yang dilakukan oleh KPK. Nah, itu yang menjadi pertanyaan besar sebenarnya itu,” ujarnya.

Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar

Photo :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro

Kata Fickar, bahwa saat ini yang menjadi sorotan atau fokus persoalannya adalah apakah perbuatan yang pernah dikualifikasi dalam satu tuntutan tertentu, itu bisa diadili lagi atau tidak. Karena, Fickar menyebut ketentuan yang mengatur soal Ne Bis In Idem Ne Bis In Idem termaktub dalam Pasal 76.

Kecuali, kata dia, dalam hal putusan hakim yang mungkin masih diulangi, orang tidak boleh dituntut dengan 2 kali karena perbuatan yang sama, perbuatan yang oleh hakim di Indonesia, terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. 

“Artinya, sudah ada putusan terhadap perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana itu sudah menjadi tetap dan sudah dijalankan dan dieksekusi," jelas dia.

Oleh karena itu, Fickar menegaskan jika ada elemen perbuatan yang sudah dilakukan dan telah ada putusan awalnya kemudian dijadikan tindak pidana baru, hal ini bisa menjadi Ne Bis In Idem, kecuali jika objeknya memang berbeda.

"Mungkin kalau dari satu rangkaian yang sama diceritakan oleh penasihat hukum (Emirsyah Satar), ada lima perbuatan pengadaan pesawat yang oleh KPK dijadikan dasar untuk menuntut gratifikasinya, penerimaannya,” jelas dia.

Tetapi, lanjut dia, dalam dakwaan Kejaksaan menurut informasi bahwa yang dijadikan hanya 2 perbuatan pengadaan. “Jadi dua dari lima yang pernah dituntut KPK, kemudian saya jadi langsung menyimpulkan ini sebenarnya mengadili perbuatan yang pernah diadili," ungkapnya.

Oleh karena itu, Fickar melihat bahwa kasus Emirsyah yang diangkat lagi oleh Kejaksaan Agung sebenarnya ne bis in bidem atau pengulangan dari yang pernah didakwakan atau dihukum. “Bahkan, hukumnya sudah punya kekuatan hukum tetap dan sudah dijalankan. Saya menyimpulkannya sebagai Ne Bis In Idem,” tegas dia.

Sebelumnya, Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin menjelaskan peran kedua tersangka kasus korupsi pengadaan pesawat udara di PT. Garuda Indonesia tahun 2011-2021, yakni mantan Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar dan Direktur Utama PT. Mugi Rekso Abadi, Soetikno Soedarjo (SS).

Tersangka Emirsyah, kata Burhanuddin, perannya membocorkan rencana pengadaan pesawat kepada Tersangka SS dan hal ini bertentangan dengan Pedoman Pengadaan Armada (PPA) milik Garuda Indonesia.

Kemudian, Tersangka Emirsyah bersama Dewan Direksi HS dan Capt AW memerintahkan tim pemilihan untuk membuat analisa dengan menambahkan sub kriteria menggunakan pendekatan Nett Present Value (NPV). 

“Tujuannya agar Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 dimenangkan atau dipilih,” kata Burhanuddin di kantornya pada Senin, 27 Juni 2022.

Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidiair Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya