Kemenag Tegaskan Larang Keberadaan 'Ruang Gelap' di Ponpes Demi Cegah Kekerasan

Ilustrasi santri di pesantren.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

Jakarta – Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) RI mengeluarkan larangan bahwa pondok pesantren tidak boleh mengadakan kegiatan di sebuah ruang gelap yang tak nampak oleh penglihatan orang banyak. Hal itu dilakukan demi mencegah terjadinya kekerasan pada murid di ponpes tersebut.

Gandeng IEP, Kemenag Buka Peluang Sinergi dengan Perguruan Tinggi Amerika

"Dan kita sempat sudah menyampaikan bahwa salah satu keinginan besar kita di dalam hal ini adalah terutama di kekerasan seksual dan termasuk perlindungan, Itu tidak boleh ada ruang gelap di pondok pesantren," ujar Dirjen Pendidikan Agama Islam Kemenag RI, M Ali Ramdhani saat melakukan 'Ngobrol Pendidikan Islam (NGOPI)' di Jakarta Pusat, Senin, 26 Februari 2024.

Ramdhani menuturkan bahwa ruang gelap akan menjadi lokasi yang rentan terjadi kekerasan fisik hingga prilaku yang tidak baik bagi santri-santri.

Bertemu Majelis Masyayikh, Menag Bahas Rekognisi Santri dan Ma’had Aly

Ilustrasi/Belajar di pesantren.

Photo :
  • VIVA.co.id/Purna Karyanto Musafirian

"Sebab keberadaan ruang gelap ini merupakan salah satu faktor pembentuk relasi kuasa yang sangat kuat antara santri dan kiainya atau ibu-ibu nyai atau siapa pun itu. Yang kadang-kadang santri itu bisa ditarik pada ruang-ruang yang gelap," ungkapnya.

3 Tips Sukses bagi Generasi Muda, Panduan Lengkap untuk Meraih Profit Stabil

Maka itu, setiap ruangan yang tak terlihat oleh orang banyak itu harus ditiadakan. "Jadi bahkan untuk di madrasah di KSKK (Direktorat Kurikulum Sarana Kelembagaan dan Kesiswaan) dan sama halnya di pondok pesantren, bahwa ruang pembelajaran itu harus bisa ditengok dari luar. Jadi tidak ada pendidikan private yang menimbulkan kesempatan atau niat untuk melakukan hal yang tidak baik," bebernya.

Tujuan lainnya ditiadakan ruangan tersebut juga demi menjaga komunikasi yang baik antar santri dengan pengajar di ponpes.

Sebelumnya diberitakan, kakak korban, Mia Nur Khasanah (22) menjelaskan, kasus itu bermula ketika pihak pondok pesantren mengantarkan jenazah korban ke keluarganya di Banyuwangi pada Sabtu, 24 Februari 2024. Saat itu, pihak pesantren menyebut BBM meninggal karena terjatuh di kamar mandi.

Ilustrasi Pesantren.

Photo :
  • VIVA.co.id/Purna Karyanto Musafirian

Namun, saat jenazah diangkat, ceceran darah sempat keluar dari keranda yang membawa jasad korban. Karena curiga, keluarga kemudian meminta agar kain kafan dibuka. Permintaan itu sempat ditolak oleh FTH, sepupu korban yang ikut mengantar jenazah.

FTH mengatakan bahwa jenazah korban sudah disucikan. "Jadi enggak perlu dibuka [kain kafan] itu. Tapi kami tetap ngotot karena curiga adanya ceceran darah keluar dari keranda. Di situ perasaan saya dan ibu campur aduk," ujar Mia kepada wartawan, Senin, 26 Februari 2024.

Namun, pihak keluarga tetap memaksa dan pengantar jenazah tak mampu mencegah. Begitu kain kafan dibuka, pihak keluarga langsung histeris ketika melihat kondisi jenazah. "Luka lebam di sekujur tubuh ditambah ada luka seperti jeratan leher. Hidungnya juga terlihat patah,” ujar Mia.

Dia mengungkapkan, terdapat juga banyak luka sundutan rokok di kaki korban. Termasuk satu luka menganga pada dada korban. Dari situ keluarga menduga kuat korban meninggal bukan karena jatuh di kamar mandi. “Ini sudah pasti bukan jatuh, tapi dianiaya,” kata Mia.

Pihak keluarga kemudian melapor ke Kepolisian Sektor Glenmore, Banyuwangi. Jenazah korban sempat dibawa ke RSUD Blambangan. Karena lokasi kejadian di Kediri, kasus itu kemudian dilimpahkan ke Polres Kediri.

Polres Kediri menindaklanjuti itu dan akhirnya menetapkan santri senior di sana sebagai tersangka. Mereka ialah NN (18) siswa Kelas 11 asal Sidoarjo; MA (18), siswa Kelas 12, warga Kabupaten Nganjuk; AK (17), warga Surabaya; dan AF (16) asal Denpasar, Bali.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya